KabarBaik.co – Langit Porong tampak kelabu, seolah ikut berkabung bersama angin yang membawa aroma khas lumpur. Di tepi tanggul yang kini menjadi pembatas antara masa lalu dan hari ini, sekelompok warga berdiri dalam diam. Mereka menabur bunga, melafazkan doa, dan menatap ke arah hamparan lumpur yang dulu adalah kampung halaman.
Hari ini, Kamis (29/5), genap 19 tahun sejak semburan panas dari perut bumi menghancurkan kehidupan di Desa Renokenongo dan sekitarnya. Tragedi Lumpur Lapindo yang tercatat sebagai salah satu bencana ekologis terbesar di Indonesia, masih menyisakan luka yang belum juga kering.
Sastro, seorang pria paruh baya yang kini tinggal di dekat Masjid Cheng Ho, Pasuruan, berdiri di antara kerumunan. Matanya tak lepas dari tanggul yang membentang di hadapannya. Suaranya lirih, namun penuh keteguhan.
“Setiap tahun kami datang ke sini. Ini bukan sekadar mengenang rumah yang hilang, tapi juga untuk mendoakan para leluhur kami yang terkubur di bawah sana,” tuturnya pelan.
Sastro dulunya tinggal di Desa Jatirejo, salah satu desa yang lenyap ditelan lumpur. Ia sudah menerima ganti rugi, tapi tidak semua seberuntung dirinya.
“Kalau kami sudah selesai, sudah dapat semua. Tapi ada tetangga saya yang belum, karena urusan warisan yang belum tuntas,” katanya.
Yang tenggelam bukan hanya rumah dan tanah, tapi juga kenangan, tempat ibadah, bahkan makam para pendahulu.
“Dulu di sini ada kampung, ada tempat ibadah, ada makam. Sekarang semua sudah rata dengan lumpur. Tapi kami tetap datang, karena ada bagian dari hidup kami yang tertinggal di sini,” lanjutnya.
Kini, kawasan yang dulu porak-poranda perlahan bertransformasi menjadi destinasi wisata edukasi. Sebuah bentuk perlawanan terhadap trauma, dan juga upaya untuk bangkit.
“Kemarin kami sudah sosialisasi dengan Dinas Pariwisata. Harapannya, kalau dikembangkan dengan serius, warga bisa tetap kerja dan tempat ini bisa punya nilai lagi,” ujar Sastro, matanya tampak berbinar sejenak.
Namun geliat wisata tak lagi seramai masa awal bencana. Rasa penasaran orang-orang kini berganti menjadi pertanyaan panjang tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik lumpur ini.
“Sekarang tamunya banyak nanya, dari A sampai Z soal lumpur ini. Ya kami layani, kami cerita. Ini bagian dari sejarah kami juga,” katanya dengan senyum kecil.
Bagi warga seperti Sastro, menjaga kawasan ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang warisan. Tempat ini adalah bukti bahwa mereka pernah ada, dan pernah kehilangan segalanya.
“Kami ingin anak cucu tahu, di sinilah dulu rumah kami berdiri. Di sinilah kami mulai kembali, meski dari nol,” pungkasnya.
Tragedi Lapindo bukan sekadar bencana alam. Ia adalah kisah panjang tentang kehilangan, tentang bertahan, dan tentang harapan yang tak pernah benar-benar padam di tengah lumpur yang membeku serta tentang keserakahan manusia yang memburu kenikmatan dunia. (*)