88 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi hingga September 2025, Tren Perkosaan Kolektif Meningkat

oleh -110 Dilihat
WhatsApp Image 2025 11 12 at 12.14.21 PM scaled
Direktur WCC Jombang Ana Abdillah saat memberikan keterangan (Teguh Setiawan)

KabarBaik.co – Sepanjang Januari hingga September 2025, Women Crisis Center (WCC) Jombang mencatat sebanyak 88 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mayoritas merupakan tindak pidana kekerasan seksual.

Direktur WCC Jombang Ana Abdillah menjelaskan bahwa dari total kasus tersebut, sekitar 30 persen atau 27 kasus merupakan pelecehan seksual, disusul dengan kasus-kasus perkosaan yang kini menjadi sorotan lembaganya.

“Mayoritas kasus yang kami dampingi adalah kekerasan seksual, baik pelecehan fisik maupun nonfisik. Tapi yang menjadi perhatian kami akhir-akhir ini adalah tren kasus perkosaan yang dilakukan secara kolektif,” ungkap Ana kepada wartawan, Rabu (12/11).

Menurut Ana, tren kekerasan seksual di Jombang kini menunjukkan pola baru. Jika sebelumnya pelaku biasanya individu, kini banyak kasus perkosaan dilakukan secara berkelompok dengan jumlah pelaku antara tiga hingga tujuh orang. Korbannya pun kebanyakan masih berusia di bawah 18 tahun.

“Sekarang ini banyak sekali kasus perkosaan yang dilakukan secara genrid atau kolektif. Ini tren yang sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah kasus pembunuhan dan perkosaan terhadap warga di Kecamatan Sumobito. WCC menyoroti bahwa proses penegakan hukum kerap tidak sejalan dengan pemenuhan hak-hak keluarga korban untuk mendapatkan pemulihan.

Ana menyebut selama 2025, WCC mendampingi delapan kasus bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), termasuk upaya memperoleh restitusi atau ganti kerugian bagi korban. Namun, dalam praktiknya, lebih dari empat kasus ditolak restitusinya oleh Pengadilan Negeri Jombang.

“Alasannya karena hakim menilai kerugian harus dibuktikan secara empiris, misalnya dengan kuitansi. Padahal kerugian psikologis itu juga nyata dan LPSK sudah punya standar perhitungannya,” jelas Ana.

Selain kasus di Sumobito, WCC juga memberikan perhatian khusus terhadap kasus kekerasan seksual di Mojoagung, tepatnya di Desa Kedunglumpang. Dalam kasus ini, keluarga korban sempat dilaporkan balik, dan WCC melakukan pemantauan terkait implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Kami memastikan bahwa pasal 71 UU TPKS melindungi keluarga korban agar tidak dituntut secara pidana maupun perdata. Kami juga mendorong agar tidak ada diskriminasi hukum hanya karena pelaku memiliki status sebagai pejabat publik,” tegas Ana.

Ana menambahkan, dari berbagai kasus yang mereka dampingi, masih banyak hambatan di tingkat akar rumput, terutama minimnya dukungan anggaran desa untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Menurutnya, pemerintah desa memiliki peluang strategis untuk memperkuat layanan hukum dengan membentuk Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang berfungsi sebagai pusat aduan masyarakat.

“Sekarang ini alokasi anggaran di tingkat desa masih sangat minim. Padahal masyarakat butuh tempat untuk melapor dan memahami perkara hukum, termasuk mana kasus kekerasan yang bisa dan tidak bisa didamaikan,” ujarnya.

WCC juga mencatat, sepanjang 2025 terdapat empat kasus pemaksaan perkawinan antara pelaku dan korban kekerasan seksual, yang masih terjadi karena tekanan norma sosial di masyarakat.

“Kami masih sering menemukan korban justru dinikahkan dengan pelaku. Ini bentuk kekerasan baru yang terselubung, dan kami terus berupaya menghentikannya,” tutup Ana. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Teguh Setiawan
Editor: Imam Wahyudiyanta


No More Posts Available.

No more pages to load.