KabarBaik.co – Lingkungan Lerek, Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi menjadi salah satu sentra penghasil tanaman hias di kabupaten setempat.
Berlokasi di ketinggian 675 meter di atas permukaan laut (mdpl) wilayah ini menjadikan daerah ini potensial dijadikan tempat budidaya. Oleh karenanya kawasan itu juga disebut sebagai “Kampung Bunga”.
Sejak berdiri tahun 2020 di bawah kepemimpinan Lisdiana, kampung ini menjajakan aneka bunga seperti mawar, melati, anggrek, kamboja, hingga tanaman hias populer seperti janda bolong dan puring.
Namun, geliat Kampung Bunga tidak lepas dari tantangan. Data Badan Pusat Statistik Banyuwangi (BPSB) menunjukkan lonjakan signifikan produksi tanaman hias pada tahun 2020–2021, seperti bunga anggrek yang naik dari 1.588 menjadi 3.778 pohon, dan krisan dari 697 menjadi 4.588 pohon. Sayangnya, tren ini tidak bertahan.
Pada 2024, jumlah tanaman hias menyusut tajam hingga 50%, hanya tersisa sekitar 807 pohon. Penyebabnya beragam, mulai dari kekurangan nutrisi, kesalahan dalam penggunaan pestisida, hingga gangguan hama dan penyakit.
Penurunan produksi itu membuat penjualan loyo. Intensitas penyiraman yang kurang konsisten, cahaya matahari yang tidak tepat, serta kondisi tanah yang tak optimal turut memperparah situasi.
“Persoalannya bukan sekadar teknis budidaya. Masalah manajemen dan pemanfaatan teknologi juga menjadi tantangan utama yang harus segera ditangani,” ujar Adi Mulyadi, Dosen Teknik Elektro Universitas PGRI Banyuwangi, yang menjadi bagian dari tim pengabdian masyarakat di wilayah tersebut.
Melalui skema Program Kemitraan Masyarakat (PKM) yang didukung Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Kemendikbudristek, tim dari Universitas PGRI Banyuwangi menggagas dua solusi konkret, penerapan mesin pupuk organik berbasis limbah kulit kopi dan kotoran kambing, serta penguatan penjualan melalui platform e-commerce.
Pendampingan dilakukan secara kontinyu kepada 12 peserta dari masing-masing kios bunga. Puncaknya adalah pada 2–3 Agustus 2025 lalu masyarakat mengikuti pelatihan intensif mulai dari sosialisasi, pendampingan, hingga praktik langsung mengoperasikan teknologi.
Adi menjelaskan mesin yang diperkenalkan mampu menghasilkan pupuk organik sebanyak 100 kg per menit, dengan masa pengomposan berkisar 1 hingga 3 minggu.
Di sisi pemasaran, e-commerce menjadi senjata baru Kampung Bunga untuk menjangkau konsumen lebih luas, dari lokal Banyuwangi hingga ke Bali dan Lombok.
“Dengan platform digital, para pelaku usaha bunga bisa memasarkan produknya kapan saja, tanpa dibatasi ruang dan waktu,” tambah Adi Mulyadi.
Adi menambahkan program ini tak sekadar teknis. Dalam beberapa tahun terakhir, Kampung Bunga telah menjadi laboratorium hidup pengembangan teknologi desa. Sebelumnya, sejumlah inovasi telah diterapkan seperti pelatihan batik Gombengsari, teknologi pengolahan kopi herbal, hingga penerapan alat pengering kopi berbasis Internet of Things (IoT).
Namun, pengolahan pupuk dari limbah kulit kopi dan e-commerce khusus tanaman hias adalah terobosan pertama yang langsung menyentuh aspek produksi dan penjualan sekaligus.
Pendekatan kolaboratif dan inovatif ini diharapkan menjadi titik balik bagi Kampung Bunga Gombengsari.
“Jika dimaksimalkan, teknologi dan e-commerce akan menjadi kunci untuk mengangkat kembali ekonomi warga melalui bunga,” tegas Adi.