Bencana Banjir Bandang di Sumbar karena Deforestasi Bukit Barisan

oleh -176 Dilihat
banjir
Pemandangan dari udara suasana banjir di Sumatera.Foto: R. Hari/KabarBaik.co

KabarBaik.co – Selain karena cuaca ekstrem dengan curah hujan yang sangat tinggi, penyebab banjir bandang dan tanah longsor di berbagai wilayah di Sumatera Barat (Sumbar)  disebabkan oleh Deforestrasi Bukit Barisan? Ini kata Walhi.

“Bukan bencana alam, lebih tepatnya bencana ekologis,” kata Walhi Sumatera Barat.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar menyatakan bahwa bencana yang terjadi karena manifestasi bencana ekologis akibat akumulasi kerusakan lingkungan yang berlangsung lama dari hulu hingga hilir. Dan ini menjadi puncak dari krisis ekologis yang semakin dalam dan berulang kali.

Sejumlah daerah seperti Kabupaten Tanah Datar, Padang Pariaman, Solok, Agam, Solok Selatan, hingga Kota Padang mengalami kerusakan yang sangat parah. Infrastruktur publik, permukiman warga, dan ruang hidup masyarakat terdampak signifikan.

Walhi Sumbar juga menilai bencana ini merupakan konsekuensi dari ketidakadilan pengelolaan ruang dan lemahnya sistem pengurusan lingkungan hidup. Alih fungsi kawasan hulu, pembukaan lahan tanpa kajian risiko, tambang ilegal, praktik illegal logging, serta pembangunan yang mengabaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) disebutnya sebagai akar masalah. Kondisi itu juga diperburuk oleh ketiadaan kebijakan mitigasi yang lebih efektif.

Cuaca ekstrem yang dipicu perubahan iklim memang menjadi faktor pemicu awal, tetapi akar persoalan terletak pada kerusakan ekologis yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Pemerintah daerah dinilai gagal dalam menjalankan kewajiban konstitusional, termasuk amanat Pasal 28H UUD 1945 terkait hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

Tommy Adam dari Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar menyampaikan bahwa seluruh data mitigasi, kajian risiko, dan pengaturan tata ruang sebenarnya sudah tersedia. Namun hal itu tidak diimplementasikan secara serius.

“Bencana yang berulang ini adalah bukti bahwa pemerintah daerah tidak menjalankan mitigasi sebagaimana mestinya,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi, Senin (1/12). Dampaknya, wilayah-wilayah dengan kerentanan tinggi di Sumbar terus mengalami bencana ekologis yang masif.

walhi
Proses deforestasi yang dicatat Walhi

Jejak Deforestasi dan Hilangnya Fungsi Hulu DAS

Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut bersama arus sungai pada peristiwa banjir bandang menjadi indikasi kuat adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu. Hal itu semakin memperjelas masih berlangsungnya praktik eksploitasi hutan yang berkontribusi langsung terhadap meningkatnya risiko bencana ekologis.

Analisis Walhi Sumbar mencatat bahwa pada periode 2001–2024, Sumbar kehilangan 320.000 hektare hutan primer lembap, dan total kehilangan tutupan pohon mencapai 740.000 hektare. Pada tahun 2024 saja, luas hutan yang hilang mencapai 32.000 hektare. Angka tersebut menunjukkan degradasi ekologis yang signifikan dan berkelanjutan.

Di Kota Padang, tekanan ekologis paling terlihat terjadi pada kawasan hulu. Dengan menggunakan citra satelit 2001–2024, Walhi Sumbar menemukan bahwa Kota Padang kehilangan sekitar 3.400 hektare hutan, yang sebagian besar berada di wilayah perbukitan Bukit Barisan dan hulu sungai-sungai kecil.

Di tengah kota, banyak kawasan lindung seperti sempadan sungai, rawa, dan gambut telah berubah menjadi area terbangun. Diantaranya ancaman ekologis itu terjadi DAS Aia Dingin, DAS Kuranji, dan DAS Arau.

Tiga daerah aliran sungai besar itu, DAS Aia Dingin dan DAS Kuranji merupakan kawasan yang paling terdampak. Ribuan rumah di sepanjang aliran DAS tersebut terendam banjir, merusak fasilitas publik dan infrastruktur permukiman.

Pada DAS Aia Dingin, yang memiliki luas 12.802 hektare, tingkat kerusakan ekologis termasuk yang paling tinggi. Kawasan hulu DAS merupakan bagian dari Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan, yang semestinya menjadi benteng ekologis utama bagi Kota Padang. Namun, kawasan ini mengalami deforestasi parah akibat tekanan aktivitas manusia.

“Dari 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan sekitar 780 hektare tutupan pohon, dengan sebagian besar deforestasi terjadi di wilayah hulu yang punya peran penting dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang,” sebut Tommy Adam.

Analisis Walhi Sumbar menempatkan DAS tersebut dalam kategori kerentanan ekologis yang sangat tinggi. Degradasi dan deforestasi di wilayah hulu diduga kuat menjadi penyebab utama terjadinya erosi dan peningkatan sedimentasi sungai, yang kemudian memicu banjir bandang.

Hal ini dinilai sebagai Pelanggaran Hak Asasi dan Kegagalan Negara dalam melindungi warganya. Walhi Sumbar menilai bahwa bencana ekologis yang terjadi menunjukkan bentuk kelalaian negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga. Ada pun lima pelanggaran utama yang disoroti yakni :

1. Hak untuk hidup dan selamat, mengingat banjir bandang dan longsor telah merenggut nyawa warga.
2. Hak atas lingkungan hidup yang sehat, yang dijamin Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 32/2009 tentang PPLH.
3. Kepatuhan terhadap UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang mensyaratkan keseimbangan ekologis—namun alih fungsi kawasan hulu DAS terus terjadi.
4. Hak atas hunian layak dan perlindungan sosial, sebab ribuan rumah rusak dan warga kehilangan tempat tinggal yang aman.
5. Hak anak dan perempuan, yang menghadapi risiko lebih besar dalam situasi bencana, termasuk akses terbatas pada kesehatan dan keamanan.

Walhi Sumbar juga mendesak pemerintah daerah untuk melakukan langkah pembenahan menyeluruh. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain:

1. Melakukan audit lingkungan komprehensif pada seluruh area terdampak bencana, termasuk memeriksa dampak aktivitas legal dan ilegal.
2. Melibatkan masyarakat secara penuh dalam penyusunan tata ruang berbasis FPIC (Free, Prior and Informed Consent).
3. Menghentikan seluruh bentuk alih fungsi lahan dan penebangan hutan di kawasan hulu.
4. Memulihkan tutupan hutan dan daerah resapan air guna memperkuat mitigasi.
5. Mengimplementasikan setiap kajian risiko bencana yang sudah tersedia, bukan hanya menjadikannya dokumen formal.
6. Mengakhiri kebijakan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan mengalihkan pembangunan menuju pendekatan berkeadilan ekologis.
7. Menegakkan hukum terhadap para pelaku pertambangan ilegal, illegal logging, dan pembangunan yang melanggar tata ruang di kawasan berisiko tinggi.

Walhi Sumbar menegaskan bahwa selama pemerintah tidak mengubah paradigma pengelolaan ruang dan tetap menempatkan investasi sebagai orientasi utama, maka bencana ekologis di Sumbar akan terus berulang.

“Banjir bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah peringatan keras bahwa tata kelola ruang yang abai akan keselamatan rakyat,” tutup Tommy Adam.

Terlihat juga tumpukan kayu gelondongan sekitar 1.100 ton yang terbawa dari hulu sungai menjadi tantangan terbesar dalam penanganan sampah pascabencana di Kota Padang.

Material kayu dalam jumlah masif itu memenuhi kawasan pesisir dan permukiman, menyisakan pekerjaan besar bagi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang untuk memastikan pemulihan berlangsung cepat dan tetap berwawasan lingkungan.

banjir2

Kayu gelondongan tersebut merupakan bagian dari total 3.327 ton sampah pascabencana yang harus ditangani pemerintah kota. Selain kayu kiriman dari hulu, timbunan sampah juga mencakup backlog lima hari dan sampah spesifik bencana dari wilayah permukiman yang terdampak banjir.

DLH menargetkan seluruh material dapat diselesaikan dalam sembilan hari melalui pola kerja terstruktur dan percepatan mobilisasi armada.

Meski volumenya sangat besar, DLH memastikan bahwa tidak semua material, terutama kayu gelondongan, akan diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Banyak warga pesisir memanfaatkan kayu tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk para pelaku usaha kecil yang menggunakannya sebagai bahan bakar produksi. Pemanfaatan langsung ini mengurangi beban angkutan sekaligus mempercepat normalisasi layanan.

Kepala DLH Kota Padang, Fadelan Fitra Masta, menjelaskan bahwa kayu gelondongan dalam jumlah besar ini justru menjadi peluang pemanfaatan alternatif yang dapat membantu percepatan penanganan.

“Kami berupaya agar tidak semua sampah kayu ini masuk ke TPA. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat, sebagian besar akan kami salurkan ke PT Semen Padang sebagai bahan bakar alternatif,” ujarnya, Minggu (30/11).

Sejak hari pertama pemulihan, petugas LPS dan Bank Sampah juga telah melakukan pemilahan langsung di lapangan. Langkah ini memungkinkan sebagian material dapat segera dimanfaatkan kembali melalui pendekatan 3R (reduce, reuse, recycle), sehingga mempercepat proses pembersihan dan menekan tekanan terhadap armada angkutan.

DLH menilai bahwa optimalisasi pemanfaatan kembali material merupakan kunci untuk mencapai target penuntasan dalam sembilan hari. Pembagian zona penanganan juga diterapkan agar seluruh wilayah terdampak mendapatkan pembersihan secara terukur dan tepat waktu.

Dengan strategi pemilahan dan pemanfaatan ulang, dinas yakin penanganan sampah pascabencana di Kota Padang dapat diselesaikan lebih cepat tanpa mengabaikan prinsip keberlanjutan. Fokus utamanya tetap memastikan pemulihan berjalan efektif dan tidak menambah beban jangka panjang pada sistem pengelolaan sampah kota.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: R. Hari
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.