Dedi Mulyadi Sayang, Dedi Mulyadi Malang

oleh -148 Dilihat
GUBERNUR KDM

TRAGEDI memilukan dalam pesta rakyat pernikahan antara Wakil Bupati Putri Karlina dan Maula Akbar di Garut seolah menampar keras wajah kita semua. Termasuk para pemimpin yang tengah larut dalam euforia citra.

Hajatan Jumat (18/7), yang semula digadang sebagai ajang berbagi kebahagiaan berubah jadi petaka massal. Tiga orang kehilangan nyawa, puluhan lainnya luka-luka. Diakui atau tidak, semua ini merupakan buah dari acara yang terasa berlebihan, yang digerakkan oleh narasi dan pencitraan, aktif dibangun melalui konten-konten viral.

Dedi Mulyadi, salah satu tokoh dalam pusaran tragedi ini, adalah politikus senior yang belakangan makin dikenal luas. Mantan bupati Purwakarta. Mantan anggota DPR RI. Gaya kepemimpinannya dianggap merakyat, ditopang konsistensinya membagikan setiap aktivitas di media sosial.

Dalam hajatan tersebut, Kang Dedi Mulyadi (KDM) bukan hanya “hadir”. Ia juga berperan penting sebagai ayah Maula Akbar, sang mempelai pria, yang anggota DPRD Provinsi itu. KDM juga sosok yang turut mengangkat kisah asmara dua anak muda tersebut menjadi konsumsi publik, lewat video-video bernuansa orkestrasi, haru, dan tentu saja: viewers.

Kita meyakini, tidak ada niat atau keinginan sedikit pun agar tragedi massal itu terjadi. Namun, niat baik yang tidak dibarengi perhitungan matang, tetap bisa berujung petaka.

Kini, dari kisah yang dipuja itu, tersisa derita yang tidak mudah terhapus.

Memang, tak bisa dipungkiri, KDM adalah salah seorang tokoh yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat. Dikenal sebagai figur yang biasa turun ke desa-desa, menemui rakyat kecil, menyapa petani, memeluk orang miskin, bahkan duduk bersila di rumah-rumah reyot tanpa rasa canggung. Banyak kontennya terasa menyentuh. Kisah-kisah kemanusiaan yang selama ini mungkin luput dari perhatian negara.

Dalam dunia politik yang kaku dan sering kali berjarak, KDM tampil beda. Mengingatkan pada Joko Widodo (Jokowi) di awal kepemimpinannya. Ia hadir sebagai PRT, ”pemimpin rasa tetangga”. Menerobos kekosongan dengan narasi-narasi personal yang intim dan membumi. Maka, tak heran jika banyak yang mengidolakannya. Terutama di dunia maya.

Namun, di sinilah kerap letak persoalannya.

Citra yang terus dipoles tanpa kendali, cepat atau lambat bisa menjadi lubang jebakan. Media sosial yang awalnya menjadi alat komunikasi justru bertransformasi menjadi panggung utama, tempat konten lebih penting daripada kontemplasi. Tragedi pernikahan di Garut adalah satu contoh nyata bagaimana konten bisa berdampak pada keselamatan, logistik, bahkan etika publik.

Pernikahan yang sakral itu berubah menjadi pusaran liar. Massa membludak, hingga akhirnya terjadi desak-desakan dan kepanikan. Saling injak, berebut makanan, hingga menewaskan tiga orang. Semua karena acara yang terlalu terbuka, terlalu ramai, dan tidak terkendali. Sebuah kelalaian dalam menejemen kerumunan, mengingatkan kembali kepada tragedi Kanjuruhan, Malang, yang juga sama-sama menelan korban nyawa.

Apa yang salah? Yang salah bukan rasa sayang kepada rakyat. Yang salah adalah ketika rasa itu tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan akal sehat dan tanggung jawab sosial. Yang salah adalah ketika semua lebih sibuk mengurusi algoritma dan engagement daripada memastikan bahwa tindakannya tidak membawa mudarat.

Kita hidup di zaman ketika pemimpin tak bisa lagi bersembunyi. Semua tindakan terekam. Tapi, di saat bersamaan, kita juga hidup di masa ketika popularitas bisa menelan substansi. Pemimpin bisa saja terlihat akrab dengan rakyat, tapi apakah juga memahami batas antara simbol dan realitas?

Pemimpin tak seharusnya menjadi bintang utama dalam setiap video. Tugas utamanya adalah memastikan sistem berjalan, menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Dia bukan konteners, melainkan pengemban amanah.

Media sosial hanya alat bantu komunikasi. Bukan panggung pencitraan tanpa henti. Jika setiap langkah diarahkan semata-mata untuk mendapatkan like dan view, maka arah kepemimpinan telah melenceng. Ketika rakyat meninggal karena sebuah konten, kita harus bertanya: apakah ini harga dari popularitas?

Dedi Mulyadi sayang, karena hadir sebagai oase dalam dunia politik yang terasa kering. Dia menghadirkan narasi tentang pemimpin yang humanis dan peka terhadap keluh. Tapi, Dedi Mulyadi juga malang, karena tak bisa dilepaskan dari tragedi yang mestinya bisa dicegah.

Maut Garut ini harus menjadi pelajaran. Bukan hanya bagi Dedi Mulyadi, tapi juga bagi semua tokoh publik, selebritas, pejabat, dan influencer yang kini memiliki panggung digital teramat luas. Popularitas adalah pisau bermata dua. Bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan jika tak digunakan dengan hati-hati.

Kini waktunya pemimpin benar-benar kembali ke bumi. Menjejak tanah. Turun dari langit-langit konten dan awan algoritma. Rakyat menunggu kehadiran dalam bentuk nyata. Bukan hanya dalam frame kamera, melainkan dalam kebijakan, keteladanan, dan tanggung jawab moral.

Karena jika panggung terlalu besar, tapi pijakan terlalu rapuh, maka bukan hanya pemimpinnya yang jatuh, rakyat pun bisa ikut tertimpa. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.