TAHUN 1993. Kala itu saya datang ke Surabaya sebagai mahasiswa baru di Universitas Airlangga (Uniar). Membawa ransel mimpi yang lebih berat dari sebuah koper baju. Kota ini menyambut bukan dengan pelukan lembut. Tapi, panas yang menampar pipi dan aroma khasnya. Asap knalpot, soto, dan semangat perjuangan yang tak pernah pudar.
Kota ini seperti ibu tua. Cerewet. Namun penuh kasih. Keras dalam tutur kata, tapi setia menjaga anak-anaknya. Dari sinilah perjalanan panjang saya menyaksikan transformasi Surabaya bermula. Dari kota yang sibuk merangkai asa, menjadi kota yang kini belajar menari di tengah disrupsi zaman.
Surabaya di tahun-tahun itu masih berwajah galak. Trotoar lebih sering dihuni pedagang kaki lima dan parkir sepeda motor daripada pejalan kaki. Angkot berhenti semaunya. Bau asap adalah parfum resmi jalanan. Tapi, di balik itu semua, Surabaya sudah menunjukkan tanda-tanda menjadi kota dengan jiwa besar.
Wajah Surabaya saat itu seperti pelukis tua dengan cat yang berantakan. Kendati begitu, penuh semangat. Ada semacam kejujuran dalam kekacauan. Orang Surabaya tidak suka basa-basi. Mereka tidak menyembunyikan kekurangan, tapi juga tidak ragu menunjukkan potensi.
Zaman bergulir. Awal 2000-an, Surabaya mulai mengenakan lipstik dan bedak. Taman-taman bermunculan. Bunga-bunga menari-nari di pinggir jalan. Seolah ia berkata, “Lihat, aku juga bisa cantik.”
Wali kota datang dan pergi. Masing-masing meninggalkan sidik jari di wajah kota ini. Tapi, satu hal tetap. Semangat Arek Suroboyo tak pernah padam. Dari Jalan Tunjungan yang legendaris hingga gang-gang sempit di Kapas Krampung, denyut kehidupan terus berlari. Terkadang sampai ngos-ngosan, kadang tertawa terbahak dengan pisuhan khasnya.
Hari ini, di bawah kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji, Surabaya seperti kapal tua yang kini punya nahkoda muda bersemangat. Eri, dengan latar belakang birokrat teknokrat, mencoba meracik logika pembangunan dengan cita rasa kemanusiaan. Armuji, dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos tapi membumi, menjadi semacam pengingat bahwa pemimpin itu juga manusia.
Mereka berdua tidak datang dengan tongkat sihir seperti di Film Harry Potter. Namun, hadir dengan segunung pekerjaan rumah. Dari kemacetan, banjir, hingga kemiskinan kota. Semuanya seperti tamu tak diundang, yang enggan pulang. Tapi, di balik itu, tampak pula secercah cahaya. Kota ini kini lebih teratur. Taman kota lebih hidup, transportasi publik mulai tertata, hingga digitalisasi pelayanan publik pun mulai terasa.
Orang Surabaya punya cara sendiri menilai pemimpin. Mereka bisa mencela dengan bahasa pedas. Bisa juga memuji dengan cara jenaka. Warga tidak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran. Mereka tak suka pencitraan, lebih suka kerja nyata meski dengan peluh. Maka, humor menjadi pelampiasan dan penguat. Di tengah kesulitan, selalu ada tawa. Bahkan saat banjir datang, warga pun kerap berkelakar. “Alhamdulillah iso renang gratis!”
Namun, tak semua bisa dirayakan dengan tawa. Masih banyak luka lama yang belum dijahit. Ketimpangan sosial masih menganga. Kampung-kampung kumuh berdampingan dengan gedung-gedung pencakar langit. Proyek-proyek pembangunan kadang menimbulkan polemik. Suara-suara rakyat kecil yang kerap tenggelam di balik tumpukan data. Ini adalah wajah lain Surabaya, yang harus diakui agar bisa disembuhkan.
Meski begitu, Surabaya masih tanah yang subur untuk harapan. Anak-anak muda mulai kembali ke kampung halamannya untuk berwirausaha. Komunitas kreatif tumbuh seperti jamur di musim hujan. Semua bergerak, meski mungkin pelan. Ada energi baru yang tak bisa diukur dengan angka statistik. Energi dari cinta akan kota ini, dari keinginan untuk menjadikan Surabaya lebih dari sekadar tempat tinggal, menjadi tempat pulang.
Surabaya tidak akan menjadi Singapura atau Tokyo. Tapi, Surabaya bisa menjadi Surabaya yang lebih baik. Kota yang tahu cara mencintai warganya. Kota yang berani menertawakan dirinya sendiri, tapi tak pernah berhenti belajar.
Eri dan Armuji punya waktu. Tapi tidak banyak. Sejarah kota ini terlalu panjang untuk diringkas dalam beberapa periode kepemimpinan. Yang pasti, mereka bisa menjadi bab penting dalam novel besar Surabaya. Bab yang kelak dibaca oleh anak cucu dengan rasa bangga atau setidaknya dengan senyum penuh makna.
Kini, lebih dari tiga dekade sejak kali pertama berada di Surabaya. Narasi ini bukan sebagai orang luar, tapi sebagai saksi yang ikut mencintai kota ini dalam diam dan riuh. Kota ini mengajarkan arti tahan banting, arti gotong royong, dan pentingnya tidak terlalu serius menghadapi hidup. Ngono yo ngono, ning ojo ngono!
Di Hari Jadi Kota Surabaya yang ke-732, saya pun ingin mengucapkan: Dirgahayu Kota Pahlawan. Semoga kau tetap seperti buaya dalam mitologimu. Tangguh, licin, dan sulit ditaklukkan. Kepada warga: Mari terus tertawa, meski terkadang masih dalam bayang-bayang persoalan klise banjir, kemacetan, atau panas kenthang-kenthang. Karena seperti kata orang Suroboyo: “Urip iku digawe syukur, ora kakean pikiran. Mumet tinggal ngopi. ” He…he… (*)