KabarBaik.co- Keputusan besar diambil oleh Pengurus Syuriah PBNU. Rabu (26/11), Syuriah memberhentikan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan ketua umum menyusul risalah Rapat Harian Syuriah tanggal 20 November dan surat edaran resmi tertanggal 25 November 2025. Dengan demikian, secara struktural kursi tertinggi di jajaran Tanfidziah itu kini kosong hingga ada penunjukan penjabat baru sampai terpilih ketua umum definitif melalui muktamar.
Aturan organisasi NU menyatakan, penjabat ketua umum PBNU itu diambil salah seorang dari Wakil Ketua Umum. Dia akan mengambil alih tugas sementara sampai masa khidmah berakhir tahun depan. Dalam struktur kepengurusan yang tercantum dalam SK PBNU tanggal 13 September 2023 (SK Nomor 01.b/A.II.04/06/2023), terdapat empat wakil ketua umum: KH Zulfa Mustofa; KH Sayyid Muhammad Hilal Al Aidid; Prof Dr H. Nizar Ali, MAg; dan H. Amin Said Husni.
Namun dari keempat nama itu, dua figur muncul sebagai kandidat paling diperhitungkan untuk mengisi posisi penjabat. Yakni, KH Zulfa Mustofa dan Prof Dr H. Nizar Ali, MAg. Keduanya memiliki kombinasi legitimasi struktural, pengalaman organisasi, serta reputasi keagamaan dan keilmuan sehingga menjadi fokus perbincangan serius di kalangan nahdliyin dan elite PBNU.
Sejumlah kiai sepuh dan tokoh senior PBNU dikabarkan mulai menggelar “musyawarah internal”—bukan musyawarah besar–untuk membicarakan pengisian sementara jabatan Ketua Umum PBNU. “Penunjukan penjabat bukan semata-mata soal administratif. Ini adalah keputusan strategis yang akan menentukan arah NU sisa masa khidmah. Nanti hasil musyawarag internal itu akan dibawa ke rapat pleno PBNU,” ujar satu sumber internal yang enggan disebut namanya.
Sementara publik menunggu keputusan, dua nama , yaitu KH Zulfa Mustofa dan Prof Nizar Ali, telah menjadi perbincangan. Di kalangan media, di jejaring pesantren, dan di forum-forum alumni NU, muncul spekulasi tentang siapa di antara keduanya yang bakal dipilih. Apakah ulama muda dan komunikatif, atau akademisi dan birokrat berpengalaman
KH Zulfa Mustofa, Ulama Pembawa Semangat Pesantren dan Dakwah Intelektual
KH Zulfa Mustofa dikenal luas sebagai ulama muda yang aktif dalam dakwah, kajian fikih, dan literasi Islam ala pesantren. Sebagai salah satu Wakil Ketua Umum PBNU periode 2022–2027, ia sudah menjadi bagian dari kepengurusan tertinggi organisasi.
Ia kerap tampil dalam berbagai forum keagamaan, merajut narasi moderasi, pluralisme, dan kedekatan dengan tradisi pesantren. Baru-baru ini, dalam sebuah Halaqah Nasional Turats Ulama Pesantren di Sidoarjo (Oktober 2025), Kiai Zulfa menekankan bahwa bagi para santri dan pelajar NU, menulis adalah jalan memenangkan peradaban, mendorong generasi muda NU untuk aktif menulis, meneliti, dan menjaga tradisi intelektual.
Selain dakwah dan literasi, Kiai Zulfa juga aktif memperkuat struktur kelembagaan keagamaan. Ia pernah menyuarakan pentingnya sistem tata kelola dalam forum hukum kelembagaan, misalnya ketika menjelaskan pengaturan atas sistem Bahtsul Masail NU (forum kajian hukum Islam NU), sebagai upaya konsolidasi dan penataan keputusan-keputusan hukum yang berlaku secara nasional.
Melalui gaya komunikasi yang lugas, pemahaman fikih yang mapan, dan kemampuan merangkul kalangan muda serta tradisionalis, banyak anggota NU menilai KH Zulfa Mustofa cocok menjadi penjabat ketua umum PBNU. Terlebih dalam situasi saat ini, di mana dibutuhkan ketenangan, konsolidasi internal, dan penyatuan visi di tengah kebingungan. Ia merupakan keponakan KH Makruf Amin, mantan Wapres.
Namun tantangan yang dihadapinya tidak ringan. Dengan karakter “ulama dakwah” dan gaya yang terkadang “lebih populis,” Kiai Zulfa harus menunjukkan kemampuan mengelola konflik internal, membangun konsensus di antara kiai, dan menjaga keseimbangan antara elemen tradisional dan modern NU.

Prof Nizar Ali, Akademisi-Birokrat, Jembatan NU dan Negara
Nizar Ali lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 Maret 1964. Ia menapaki karier akademik dan birokrasi — menjadi guru besar di bidang hadits di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka), dan kemudian memasuki jalur manajerial di lingkungan pemerintah. Kariernya termasuk menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Kementerian Agama, kemudian naik ke jabatan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama.
Sebagai akademisi sekaligus birokrat, ia membawa kekuatan dalam bidang pengelolaan pendidikan, kelembagaan, dan modernisasi struktur NU — aspek yang dianggap krusial oleh banyak kalangan, terutama di tengah tuntutan zaman.
Salah satu fokusnya adalah pengembangan pendidikan dan perguruan tinggi di lingkungan NU. Dalam Rakernas Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) pada Maret 2023, Nizar menegaskan bahwa kampus-kampus NU harus profesional, memiliki manajemen modern, dan mampu menghasilkan ulama sekaligus intelektual — menciptakan “ulama modern” yang tetap berakar pada tradisi ahlussunnah wal-jamaah.
Lebih jauh, ia juga terlibat dalam pelantikan pengurus cabang dan rektor PTNU di berbagai daerah — menunjukkan perannya dalam menjaga keberlangsungan dan kesinambungan lembaga-lembaga pendidikan NU di seluruh Indonesia.
Kepiawaian Nizar dalam birokrasi dan jaringan dengan pemerintah memberikan nilai strategis tersendiri. Dalam situasi krisis kepemimpinan seperti sekarang, banyak pihak menilai bahwa sosok seperti Nizar cocok menjadi penjabat ketua umum — mampu menjaga stabilitas organisasi, menjaga hubungan dengan negara, dan memastikan operasional NU tetap berjalan tanpa gangguan.
Namun demikian, tantangan bagi Nizar juga besar. Sebagai akademisi dan birokrat, ia harus mampu merangkul kalangan pesantren dan kiai tradisional — menjaga nuansa “keulamaan NU” tanpa kehilangan sisi modern dan profesional. Selain itu, ia harus menunjukkan kemampuan diplomasi internal agar keputusan penjabat tidak memancing perpecahan.
Yang jelas, pemilihan penjabat Ketua Umum PBNU bukan sekadar soal siapa paling senior atau paling populer — melainkan soal arah strategis organisasi untuk sisa periode khidmah 2022–2027.
Jika memilih KH Zulfa Mustofa, PBNU kemungkinan akan menekankan keberlanjutan tradisi dakwah, pesantren, dan literasi keagamaan. Ia bisa menjadi simbol regenerasi ulama muda, menjadi jembatan antara pesantren tradisional dan dinamika modern — sekaligus menjaga identitas NU sebagai rumah para santri dan ulama tradisional.
Kalau memilih Prof Nizar Ali, PBNU kemungkinan akan fokus pada stabilitas kelembagaan, profesionalisme, modernisasi pendidikan, dan hubungan dengan negara/pemerintah. Ini bisa menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi NU dalam regulasi pendidikan Islam, program pendidikan tinggi, dan modernisasi internal — tanpa banyak turbulensi publik.
Keputusan Syuriah PBNU tentu akan mempertimbangkan banyak aspek. Daya tampung konsolidasi internal, potensi konflik, visi masa depan NU, serta bagaimana menjaga marwah organisasi sambil menjawab tantangan zaman.
Sementara itu, publik dan warga NU kini menanti dengan cermat, siapakah yang akan dipilih sebagai penjabat Ketua Umum PBNU. Apakah NU akan memilih jalan dakwah intelektual dan semangat pesantren, atau memilih stabilitas kelembagaan dan profesionalisme modern? (*)








