Ke Museum Haramain, Hati Peradaban Tanah Suci

oleh -370 Dilihat
HARAMAIN MUSEUM
Museum Haramaian, Makkah. (Foto Kemenag)

DI ANTARA berjuta langkah yang menapaki tanah suci Makkah, ada satu langkah kecil yang menerobos ke balik tirai waktu. Bukan langkah tawaf mengelilingi Ka’bah. Bukan pula langkah sa’i antara Shafa dan Marwah. Tetapi sebuah langkah yang menembus lorong-lorong memori umat manusia di Museum Haramain.

Saat menjadi bagian dari Media Center Haji (MCH) 2013, saya berkesempatan menyusuri ruang-ruang penuh cerita di museum itu. Ruang yang tak hanya menampung benda, tetapi juga menampung ingatan, kesakralan, dan denyut sejarah.

Museum Haramain. Ibarat kitab tafsir dari peradaban. Tak cuma dibaca dengan mata, tetapi direnungi. Setiap benda adalah ayat tak tertulis, yang menjelaskan bagaimana nilai-nilai agung Islam tertanam dalam setiap helaan napas zaman. Dalam ruang itu, aku merasa bukan hanya sebagai pengunjung, melainkan sedang melakukan ziarah intelektual dan spiritual. Fragmen pengembaraan ke masa silam umat ini.

Bayangkanlah, sumur dan sebuah timba masa lampau tergantung hening. Ia tak bersuara. Tapi dalam diamnya, timba itu seolah berteriak tentang keajaiban yang tak berubah, meski waktu melaju ribuan tahun. Di baliknya, seolah saya melihat tangan-tangan tua yang pernah menimba air dari sumur keberkahan yang digali oleh malaikat untuk Siti Hajar. Zamzam. Air yang sama, yang menyejukkan lidah para kekasih-Nya, para wali, serta jutaan jiwa dari seantero bumi.

Lalu, ada pintu Ka’bah. Berdiri anggun dalam sunyi. Penuh wibawa. Ia bukan sekadar pintu. Tapi, gerbang simbolik menuju maqam spiritual tertinggi. Menatapnya membuat hati mengingat bahwa kehidupan pun adalah serangkaian pintu. Ada yang bisa dibuka dengan begitu mudah. Ada pula yang perlu ditangisi lama, sebelum akhirnya terbuka. Pintu itu pernah disentuh para penguasa, dijaga para mujahid, dan menjadi kiblat harap para pencinta.

Tak jauh, deretan foto lama tergantung seperti kenangan yang tak ingin pergi. Gambar Ka’bah tempo dulu, dengan latar bangunan-bangunan sederhana. Manusia bersujud dalam kekhusyukan yang nyaris purba. Ada pula gambar tugu lempar jumrah, saat ritual itu belum dilindungi jembatan-jembatan beton megah seperti sekarang. Semua itu, dalam senyapnya, membisikkan sebuah pesan. Bahwa, kemajuan tak pernah lahir dari kehampaan, tapi dari babakan sejarah yang dilakoni dengan darah dan air mata.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Yusuf ayat 111: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

Di museum itu, saya menemukan bahwa sejarah bukanlah lembaran usang. Yang menguning di rak masa lalu. Ia adalah pelita. Saksi. Ruh yang merasuki jasad peradaban. Apa yang hari ini kita sebut sebagai digitalisasi, modernitas, dan kemudahan, adalah buah dari benih-benih masa lalu ditanam dalam kesederhanaan dan kesungguhan.

Tak hanya menyimpan timba Zamzam dan tirai Kiswah tua. Museum juga memperlihatkan naskah Alquran kuno, batu-batu prasasti pra-Islam, serta model tiga dimensi Masjidil Haram dan Jamarat. Semua ini dalam etalase dan ruang-ruang pameran yang kaya makna. Terletak di kawasan Hudaibiyah, hanya 3–5 km dari Baitullah, museum ini menjadi halte penting antara kesadaran sejarah dan modernitas yang berkembang di sekitarnya.

Sebagai seorang yang telah berkesempatan datang ke sejumlah negara, saya melihat bahwa museum memang benar-benar diperlakukan istimewa. Jadi ruang-ruang jeda. Yang mempertemukan antara dulu dan nanti. Di sana, waktu bukan berjalan linear, melainkan spiral. Kita menyentuh masa lalu, agar bisa mengarahkan masa depan. Namun, di negeri sendiri, museum kerap dianggap tempat usang, tempat rombongan anak sekolah berpose tanpa makna.

Padahal, Rasulullah SAW bersabda:“Barang siapa yang tidak mengetahui sejarah umatku, maka ia bukanlah bagian dari mereka.” (HR. Thabrani)

Dalam hadis ini, tersirat bahwa memahami sejarah bukan sekadar aktivitas akademik. Namun, bagian dari iman dan identitas. Museum, dalam konteks ini, merupakan perpanjangan dari kewajiban itu. Ia bukan ruang pajang, tetapi ruang tafakur.

Setiap kali mengunjungi museum di negara lain, dari Asia hingga Eropa, saya menemukan nyala antusiasme dari masyarakatnya. Anak-anak kecil menatap benda lama dengan kagum, orang dewasa merenung di hadapan lukisan atau prasasti kuno. Di sana, sejarah bukan hanya cerita, tetapi bahan bakar kebanggaan. Sebaliknya, di tanah ini, seringkali lengang. Bak bait-bait puisi sepi. Yang hanya dibaca penyairnya sendiri.

Museum Haramain bukan hanya menyimpan peninggalan fisik. Ia menyimpan denyut batin umat ini. Ada sajadah tua, ukiran mimbar, mushaf kuno yang tinta emasnya seperti masih hangat dari pena. Setiap benda adalah saksi. Ia menyimpan air mata, doa, dan harapan orang-orang yang telah pergi. Dalam setiap ruangnya, ada rasa seperti diajak berdialog oleh para pendahulu, mendengar bisikan mereka agar kita tidak lupa dari mana kita berasal.

Seorang sufi pernah berkata, “Barang siapa tidak mengenal akar, akan tumbang diterpa angin zaman.”

Maka, museum adalah tempat mengenal akar. Ia memperkuat batang kita, agar ranting-ranting masa depan tak mudah patah. Di Museum Haramain, kita belajar bahwa kemegahan Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah hari ini tidak terlepas dari kerendahan hati orang-orang dahulu, yang membangunnya dengan doa dan keringat.

Mengunjungi museum itu perjalanan ke dalam. Bukan sekadar datang, melainkan kontemplasi. Saat menatap tirai Kiswah lama, seperti sedang menatap lapisan-lapisan waktu. Setiap benang emasnya menyimpan ayat, setiap helainya mengandung doa. Dan, saya pun terhenyak. Bahwa, peradaban Islam ini bukan hanya dibangun oleh pedang atau pena, tetapi juga oleh rasa cinta yang sangat halus.

Museum Haramain mengajarkan satu hal, bahwa warisan bukan untuk dikenang saja, tapi untuk dipelajari dan dijaga. Dalam keheningan ruang-ruangnya, saya seperti mendengar gema takbir dari abad-abad yang telah lalu. Dan gema itu, kini bersambung di hati. Kita menemukan bukan hanya siapa kita, tetapi mengapa kita.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Hasyr ayat 18: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…”

Dan, museum, adalah salah satu cermin untuk melihat apa yang telah kita lakukan kemarin, agar kita tahu bagaimana harus melangkah esok hari. Museum bukan akhir dari perjalanan. Tapi, awal dari kesadaran. (*/bersambung).

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.