Pemdes Ketapang Ikut Dirugikan dengan Pembangunan Tambak di Selogiri Banyuwangi

oleh -535 Dilihat
49b1c343 c2d0 464c 9daf 2ced296ddc33
Proyek tambak di jalan Banyuwangi - Situbondo tepatnya di RT 1, RW 5, Dusun Selogiri, Desa Ketapang, Kalipuro, Banyuwangi. (Foto: Ikhwan)

KabarBaik.co – Kepala Desa Ketapang, Slamet Utomo mengaku dirugikan dengan adanya pembangunan tambak di Dusun Selogiri, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi.

Ia merasa dirugikan karena beredar isu bahwa dirinya memberi izin terhadap pembangunan tambak yang kini dikeluhkan warga tersebut. Faktanya, pihak perusahaan tambak sama sekali tidak pernah memberitahu dan bermusyawarah dengan pemerintah desa.

“Tidak pernah ada pemberitahuan ke desa, harusnya ada sosialisasi, lha ini tidak. Tahu-tahu sudah ada pembangunan,” kata Slamet saat dikonfirmasi, Kamis (16/1).

Hal yang lebih membuatnya geram adalah beredar isu bahwa ia yang memberi keleluasaan pembangunan tambak. Isu yang beredar izin itu terbit pada tahun 2007, saat ia pertama kali menjabat.

“Padahal saya dulu dilantik akhir 2007, saya tidak tahu menahu soal izin itu. Setahu saya tanah tersebut belum dibeli pihak perusahaan dan masih milik warga. Berdasarkan data desa bahkan tanah itu masuk wilayah yang dialiri HIPPA,” terangnya.

“Saya merasa dirugikan dengan isu itu,” imbuhnya.

Ia pun meminta perusahaan tambak yang kini bermasalah itu untuk melakukan cara-cara yang benar dalam melakukan usaha di Desa Ketapang. Seharusnya perusahaan memperkenalkan profil usahanya, bagaimana dampak lingkungan maupun dampak sosialnya.

“Harusnya ada sosialisasi. Ini enggak ada sosialisasi, tahu-tahu sudah dibangun,” tegasnya.

Soal keluhan warga, Slamet menyebut Pemerintah Desa mendukung aspirasi warga tersebut. Ia mengimbau warga untuk melakukan langkah-langkah prosedural agar keluhan ini bisa dibawa ke Pemerintah Kabupaten.

“Warga kami dorong untuk membuat surat, melampirkan keluhan-keluhannya. Kami akan mengawal keluhan itu ke tingkatan Pemerintah yang lebih tinggi,” imbaunya.

Sebagai informasi, pembangunan tambak di Dusun Selogiri, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro itu dikeluhkan warga setempat. Warga melakukan penolakan karena tidak pernah diajak berbicara soal pembangunan tambak yang berlokasi di pinggir jalan nasional Banyuwangi – Situbondo ini.

Padahal warga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan ini bakal merasakan banyak dampak dari pembangunan tambak tersebut. Warga khawatir pembangunan tambak ini akan merusak ekosistem laut yang berdampak pada perekonomian masyarakat.

Ketua RW 5, Admawiyanto mengatakan pembangunan tambak tersebut tanpa melalui musyawarah dengan masyarakat maupun perangkat desa. Artinya itu menyalahi prinsip perizinan pemanfaatan tata ruang. Padahal masyarakat sangat terdampak dengan adanya pembangunan tambak tersebut.

Area tambak yang berhimpitan langsung dengan pesisir Selat Bali ini juga terdata sebagai Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Area itu juga sejak lama juga menjadi jalan terdekat bagi nelayan untuk melaut. Namun kini jalan itu sudah tidak ada dan ditutup tembok beton.

“Awalnya sawah tiba-tiba ditembok dan dibuat petak-petak kolam. Masyarakat sempat meminta penjelasan dan mediasi namun tidak pernah ditemui. Surat yang kami ajukan juga tidak pernah direspon,” kata Admawiyanto.

Masyarakat pun akhirnya geram. Puluhan masyarakat yang tergabung dalam Himpunan Nelayan bersama sejumlah tokoh masyarakat akhirnya melakukan musyawarah dan menyatakan sikap menolak proyek tambak tersebut.

Dengan alasan, bahwa kegiatan pembangunan tambak yang dilakukan oleh tidak didahului dengan komunikasi yang baik dengan perangkat desa, organisasi yang berada di lingkungan desa dan warga Desa Ketapang secara menyeluruh. Masyarakat menduga proyek ini ilegal karena tak mengantongi izin.

Karena diawali dengan tata cara yang buruk, masyarakat meyakini bila tetap beroperasi pengelolaan tambak ini bakal dijalankan sekonyong-konyong. Masyarakat khawatir pembuangan limbah tambak akan langsung dibuang ke laut dan berdampak pada kerusakan ekosistem laut.

“Sehingga kami khawatir kami para nelayan yang dirugikan. Karena di sini khususnya di RT 1, hampir sebagian besar masyarakat bergantung pada hasil laut. Dengan ini kami juga meminta agar proyek ini dihentikan,” terangnya.

Sementara itu, Ketua RT 1 Sahroni menjelaskan bahwa di lingkungannya total ada 70 an kepala keluarga. Hampir 75 persen masyarakat berprofesi sebagai nelayan. Baik itu nelayan pancing maupun budidaya terumbu karang.

“Rata-rata warga disini dari laut itu sebulan 1 juta sampai paling banyak 3 juta penghasilannya, kalau rusak ekosistemnya ya ndak tahu lagi wes,” bebernya. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Ikhwan
Editor: Andika DP


No More Posts Available.

No more pages to load.