KabarBaik.co – Pelaku usaha properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur mengungkapkan berbagai keluhan terkait pelaksanaan program rumah subsidi, termasuk program ambisius 3 juta rumah yang menjadi salah satu agenda Presiden Prabowo Subianto. Keluhan ini disampaikan kepada anggota DPD RI asal Jawa Timur, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dalam pertemuan reses di Surabaya, Kamis (29/5).
Sekretaris DPD REI Jatim, Rizky Supriadi, menyoroti bahwa narasi rumah gratis dari pemerintah telah menciptakan kebingungan di pasar. “Sejak Presiden mencanangkan program ini, muncul pernyataan soal rumah gratis yang membuat pengembang kesulitan. Padahal, skema FLPP yang digunakan hanya mensubsidi bunga dan uang muka,” ungkap Rizky. Ia menambahkan bahwa skema FLPP tetap menarik dengan uang muka 1% dan bunga tetap 5% untuk jangka waktu kredit hingga 25 tahun.
Namun, narasi rumah gratis membuat calon pembeli menunda keputusan mereka, berharap rumah akan diberikan tanpa biaya. Hal ini mengganggu arus kas pengembang di daerah. “Banyak konsumen yang meminta penundaan pembelian setelah mendengar soal rumah gratis,” ujarnya.
Masalah kuota program FLPP juga menjadi sorotan. Rizky menjelaskan bahwa transparansi kuota sering kali bermasalah.
“Kami sering mendapati jawaban bahwa kuota habis, padahal kuota nasional ditetapkan sebesar 220.000 unit untuk 2025,” katanya. Selain itu, lambatnya pembayaran selisih bunga oleh pemerintah ke bank membuat banyak bank enggan menyalurkan KPR FLPP.
Wakil Ketua Bidang Infrastruktur dan Tata Ruang REI Jatim, Azwar Hamidi, mengungkapkan bahwa keterlambatan pengumuman kuota juga memengaruhi jadwal pembangunan. “Biasanya kami memulai pembangunan di awal tahun. Namun, pengumuman kuota baru keluar pada April atau Mei, sehingga waktu produksi terpangkas,” jelasnya. Hingga saat ini, dari kuota nasional 220.000 unit, Jawa Timur baru merealisasikan 6.000 hingga 8.000 unit, jauh dari target nasional.
Azwar juga mengkritisi klaim Menteri PUPR yang menyatakan bahwa program rumah subsidi akan mencapai 600.000 unit per tahun. “Setelah kami koordinasi dengan TAPERA, Himbara, dan Kemenkeu, ternyata dana yang tersedia hanya cukup untuk 350.000 unit. Jadi, dari mana angka 600.000 itu?” tanyanya.
Masalah lahan menjadi perhatian serius.
Banyak lahan di pinggiran kota masuk zona hijau untuk mendukung program ketahanan pangan, sehingga pengembang terpaksa mencari lahan lebih jauh dan mahal. “Ironisnya, program ketahanan pangan ini berbenturan dengan target pembangunan rumah,” kata Iqbal Randy, Wakil Sekretaris Bidang Perpajakan REI Jatim.
Selain itu, segmentasi penerima manfaat berdasarkan profesi juga dinilai tidak efektif. “Jika kuota terlalu spesifik, misalnya untuk buruh di satu daerah, kuota itu bisa tidak terserap,” tambah Iqbal. Ia juga menyoroti usulan pemerintah agar pengembang menggunakan tanah sitaan dari kasus hukum, yang menurutnya rawan masalah hukum di kemudian hari.
Para pengembang berharap DPD RI dapat menyampaikan persoalan ini ke pemerintah pusat. Mereka menginginkan program 3 juta rumah didukung perencanaan teknis, anggaran, dan regulasi yang matang.
“Kami butuh kejelasan petunjuk teknis agar dapat menentukan peran serta kami dalam program ini,” tutup Rizky.
Melalui dialog ini, REI Jatim berharap pemerintah dapat memberikan solusi konkret agar program rumah subsidi benar-benar dapat terwujud tanpa menimbulkan disorientasi di pasar maupun di lapangan.(*)