Tragedi di Tengah Pesta

oleh -239 Dilihat
HITAM

KABAR duka menyelimuti perayaan pernikahan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi alias KDM, dengan Wakil Bupati Garut Putri Karlina. Tiga orang meninggal dunia dalam insiden berdesakan saat rebutan makan gratis. Sebuah tragedi yang seharusnya tidak terjadi di tengah momen kebahagiaan.

Pernyataan pengamat yang mengindikasikan potensi penetapan pihak Event Organizer (EO) sebagai tersangka, memang perlu dicermati. Namun, sangat krusial untuk tidak mengalihkan seluruh tanggung jawab dari pihak yang memiliki hajat.

Ini bukan sekadar “hajat” biasa. Ini adalah pernikahan pejabat dan seorang putra dari figur publik sekelas Gubernur, yang notabene memiliki pengaruh dan daya tarik massa yang sangat besar. Seharusnya, kesadaran akan potensi keramaian luar biasa ini sudah menjadi perhatian utama sejak awal perencanaan. Mengingat hal tersebut, pandangan bahwa EO sepenuhnya bertanggung jawab karena “yang punya hajat sudah menyerahkan semuanya kepada EO” terasa terlalu simplistik dan berpotensi mengecilkan peran serta tanggung jawab pihak tuan rumah.

Siapa yang paling bertanggung jawab? Memang benar, EO memiliki peran vital dalam merancang dan melaksanakan acara. Termasuk aspek keamanan dan manajemen kerumunan. Jika ada kelalaian dalam persiapan preventif, penyediaan fasilitas darurat seperti ambulans dan posko kesehatan, atau mitigasi saat kejadian, maka patut dimintai pertanggungjawaban. Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian bisa jadi relevan untuk diselidiki.

Namun, mari kita renungkan. Apakah pihak yang memiliki hajat, benar-benar bisa lepas tangan sepenuhnya? Sebagai tuan rumah, terlebih dengan kapasitas dan popularitas, seharusnya tuan rumah ada pemahaman mendalam tentang skala keramaian yang akan terjadi. Menggantungkan sepenuhnya pada EO tanpa pengawasan, atau tanpa standar pengamanan yang jelas dan memadai, bukankah termasuk sebuah kelalaian kolektif?

Tuan rumah memiliki kewajiban moral dan, bisa jadi, hukum, untuk memastikan keselamatan para tamu dan masyarakat yang hadir. Mereka adalah pihak yang memutuskan untuk mengadakan acara makan gratis berskala besar, yang berpotensi menarik ribuan orang. Pertanyaannya adalah, apakah mereka telah melakukan evaluasi risiko yang memadai sebelum mendelegasikan sepenuhnya kepada EO? Apakah ada komunikasi yang jelas mengenai ekspektasi jumlah massa dan langkah-langkah pengamanan yang diperlukan?

Yang pasti, tragedi ini harus menjadi pelajaran pahit bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan acara publik. Terutama yang melibatkan figur penting dan berpotensi menarik kerumunan besar. Tanggung jawab rasanya tidak boleh hanya dilimpahkan kepada satu pihak. Kejadian ini memerlukan penyelidikan menyeluruh, bukan hanya untuk mencari kambing hitam. Namun, untuk memahami akar masalah dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Kita berharap pihak berwajib dapat melakukan investigasi yang transparan dan adil, menimbang semua aspek kelalaian dari setiap pihak yang terlibat. Karena pada akhirnya, nyawa manusia adalah yang paling berharga, dan keadilan bagi para korban serta keluarga mereka harus menjadi prioritas utama.

Pertanyaan yang juga mungkin menggelayut, apakah wajar seorang pejabat menggelar pesta makan gratis yang melibatkan ribuan masyarakat di tengah kondisi sosial ekonomi yang belum pulih sepenuhnya? Di satu sisi, acara semacam itu bisa dilihat sebagai bentuk “berbagi” atau mendekatkan diri dengan masyarakat. Namun di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi pemborosan anggaran, pencitraan berlebihan, hingga anggapan penyalahgunaan wewenang yang terselubung dalam kemasan “syukuran” atau “pesta rakyat”.

Di sinilah letak urgensi etika kepemimpinan. Tidak semua yang “bisa” dilakukan secara hukum berarti “layak” dilakukan secara moral. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.