KabarBaik.co- Hari Hak untuk Tahu Sedunia (Right to Know Day) diperingati setiap tanggal 28 September sebagai momentum global untuk menegaskan hak setiap warga negara dalam mengakses informasi publik. Perayaan ini kali pertama dideklarasikan di Sofia, Bulgaria, pada tahun 2002, lahir dari semangat gerakan masyarakat sipil yang menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Semangat tersebut kemudian mendapat pengakuan resmi dari UNESCO, ketika pada 17 November 2015 Konferensi Umum UNESCO menetapkan tanggal 28 September sebagai Hari Internasional untuk Akses Universal terhadap Informasi (International Day for Universal Access to Information/IDUAI). Sejak itu, peringatan ini menjadi ajang internasional untuk mendorong keterbukaan informasi sebagai fondasi masyarakat demokratis dan partisipatif.
Makna peringatan ini tidak sekadar simbolis. Namun, menjadi pengingat bahwa akses terhadap informasi merupakan hak dasar yang harus dijamin negara. Dengan adanya keterbukaan informasi, lembaga publik didorong untuk lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan kewenangannya.
Masyarakat pun memiliki ruang untuk lebih berdaya. Dapat berpartisipasi aktif dalam sistem politik, mengawasi jalannya pembangunan, serta memastikan kebijakan pemerintah berpihak pada kepentingan rakyat. Lebih jauh, keterbukaan informasi menjadi pilar penting dalam memperkuat demokrasi dan menjaga kebebasan pers, sehingga terbangun masyarakat yang terbuka dan berkeadilan.
Tahun 2025, UNESCO mengusung tema Ensuring Access to Environmental Information in the Digital Age. Tema ini menegaskan bahwa keterbukaan informasi lingkungan semakin penting di tengah derasnya arus digitalisasi. Informasi bukan hanya sekadar kumpulan angka, melainkan landasan bagi masyarakat untuk memahami kondisi sekitarnya, mengawasi kebijakan, hingga mengambil bagian dalam menjaga hak-hak dasar atas lingkungan yang sehat.
Penerapan di Indonesia
Di Indonesia, semangat “right to know” diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kehadiran UU ini menjadi tonggak penting dalam menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh badan publik.
UU KIP menegaskan bahwa informasi publik adalah milik rakyat, sehingga pemerintah dan badan publik lainnya berkewajiban membuka diri, kecuali terhadap informasi yang secara sah dikecualikan karena menyangkut rahasia negara, keamanan, atau kepentingan pribadi tertentu.
Baca Juga: Keterbukaan Informasi Lingkungan di Era Digital: Menakar Praktik di Jawa Timur
Tujuan utama UU KIP adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui regulasi ini, diharapkan kepercayaan publik terhadap pemerintah meningkat, sekaligus memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.
UU No 14 Tahun 2008 juga hadir untuk mencegah praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan, serta mendorong budaya demokrasi yang sehat melalui keterbukaan informasi. Dengan kata lain, keterbukaan bukan hanya hak, tetapi juga sarana untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat.
Sebagai pelaksana UU KIP, pemerintah membentuk Komisi Informasi, sebuah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan amanat keterbukaan informasi di Indonesia. Komisi Informasi berperan menyelesaikan sengketa informasi publik antara badan publik dengan pemohon informasi, sekaligus mengawasi penerapan keterbukaan informasi di seluruh instansi pemerintah dan lembaga publik lainnya.
Baca Juga: Jelang Right to Know Day: Mengenal Komisi Informasi. Sahabat Keterbukaan Informasi Publik
Kehadiran Komisi Informasi tidak hanya memperkuat posisi masyarakat dalam menuntut haknya atas informasi, tetapi juga memastikan prinsip keterbukaan benar-benar dijalankan sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik. (*)