KASUS yang menimpa siswi SMP berinisial RAB, 15 tahun, asal Kecamatan Tegalsari, Surabaya, menjadi tamparan keras yang tak bisa diabaikan. RAB, yang awalnya dilaporkan hilang oleh orang tuanya, ditemukan di sebuah kamar hotel bersama lima orang dewasa. Empat pria dan satu perempuan. Bukan hanya itu, ia juga terindikasi kuat terlibat dalam praktik prostitusi online dan positif mengonsumsi narkoba.
Fakta-fakta tersebut mengguncang kesadaran kita bahwa generasi muda tengah menghadapi ancaman nyata yang datang dari pergaulan bebas, penyalahgunaan teknologi, dan lemahnya pengawasan orang tua serta lingkungan.
RAB bukanlah pelaku utama. Ia adalah korban dari situasi yang kompleks dan mengerikan. RAB diajak dan dipengaruhi oleh seorang perempuan dewasa. Di sinilah akar masalah bermula. Seorang anak yang belum cukup matang secara emosional dan mental, diajak masuk ke dalam lingkaran prostitusi online oleh seseorang yang seharusnya lebih dewasa dan tahu batas. Ini menunjukkan bahwa predator sosial tak selalu datang dari luar, kadang justru berasal dari orang-orang terdekat yang dipercaya.
Mirisnya, kasus ini bukan kejadian tunggal. Banyak anak-anak di luar sana yang menjadi korban eksploitasi, baik secara seksual maupun psikologis, akibat penggunaan internet dan media sosial yang tidak terkontrol. Dunia digital yang semestinya menjadi ruang belajar dan bertumbuh, justru berubah menjadi medan berbahaya ketika digunakan tanpa pendampingan yang memadai. Di balik layar ponsel, anak-anak kita terpapar konten dewasa, rayuan halus para pelaku, hingga bujuk rayu menjanjikan uang instan dan kebebasan semu.
Ini adalah kegagalan bersama. Kegagalan negara dalam memperkuat sistem perlindungan anak, kegagalan sekolah dalam memberikan edukasi menyeluruh tentang bahaya dunia maya, dan terutama kegagalan keluarga dalam memberikan perhatian, kasih sayang, dan pengawasan.
Kita mungkin terlalu sibuk dengan rutinitas, terlalu percaya pada teknologi, dan terlalu cepat melepaskan kendali atas anak-anak dengan dalih “kepercayaan” tanpa menyadari bahwa dunia luar sangatlah kejam bagi jiwa-jiwa muda yang masih labil.
Pemerintah harus bertindak lebih dari sekadar menangani pascakejadian. Kasus ini tidak cukup ditanggapi dengan rehabilitasi dan pendampingan semata, meskipun itu langkah penting. Kita memerlukan sistem pencegahan yang kuat.
Edukasi digital harus menjadi kurikulum wajib di sekolah. Orang tua perlu dibekali pelatihan tentang pengasuhan di era digital. Pemerintah pusat dan daerah wajib menindak tegas aplikasi dan platform yang menjadi wadah praktik prostitusi terselubung. Penegakan hukum terhadap pelaku dewasa yang melibatkan anak dalam aktivitas terlarang juga harus tegas dan tidak pandang bulu.
Namun, perubahan besar juga harus dimulai dari rumah. Orang tua perlu membangun komunikasi yang terbuka dan penuh empati. Anak perlu merasa aman untuk bercerita, tanpa takut dihakimi atau dimarahi. Kontrol terhadap penggunaan gawai harus dilakukan dengan cerdas. Bukan hanya membatasi, tapi juga menjelaskan alasannya, memberi alternatif yang sehat, dan menjadi teladan dalam penggunaan teknologi. Kita tidak bisa hanya berkata, “Jangan buka ini, jangan main itu,” tanpa memberi pengganti atau bimbingan.
Kasus RAB adalah cermin retak yang memantulkan wajah kita sebagai masyarakat. Ia mengingatkan bahwa anak-anak kita sedang berdiri di persimpangan: Satu jalan menuju masa depan yang cerah, dan satu lagi menuju jurang yang gelap. Kita, para orang tua, pendidik, pemimpin, dan warga, adalah penunjuk arah mereka. Jika kita lalai, maka kita ikut bertanggung jawab atas setiap anak yang jatuh ke dalam kegelapan.
Jangan tunggu kasus serupa terjadi lagi untuk bergerak. Mulailah dari lingkungan terdekat. Jadikan rumah sebagai ruang aman, bukan sekadar tempat tinggal. Jadikan gadget sebagai alat bantu, bukan penentu hidup. Jadikan diri kita orang tua yang hadir—secara fisik, emosional, dan spiritual.
Karena menyelamatkan satu anak hari ini, adalah menyelamatkan masa depan seluruh bangsa. (*)