Bertani- Provinsi Jawa Timur mencatat lonjakan signifikan dalam produksi padi pada semester pertama tahun 2025. Namun, meski pasokan beras melimpah, harga di pasaran justru mengalami kenaikan. Fenomena ini mengundang pertanyaan besar. Mengapa harga tetap naik saat stok beras berlimpah?
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur, Heru Suseno, menyebutkan bahwa produksi ini merupakan bagian dari upaya mendukung program ketahanan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Menurut Heru, luas panen pada Januari hingga Juni 2025 tercatat mencapai 1.109.332 hektare, mengalami peningkatan sebesar 128.111 hektare atau 13,06 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2024, yang hanya seluas 981.221 hektare.
Seiring dengan peningkatan luas panen, produksi Gabah Kering Panen (GKP) pun naik signifikan. Pada Januari–Juni 2024, produksi GKP mencapai 6.684.299 ton, sedangkan pada periode yang sama tahun 2025 meningkat menjadi 7.529.028 ton, atau naik 844.729 ton (12,64 persen).
Tak hanya itu, produksi Gabah Kering Giling (GKG) juga mengalami lonjakan. Jika pada 2024 sebanyak 5.559.415 ton, maka pada 2025 meningkat menjadi 6.261.989 ton—bertambah 702.572 ton atau naik 12,64 persen.
Dampaknya, produksi beras konsumsi juga mengalami peningkatan. Dari sebelumnya 3.210.118 ton pada Januari–Juni 2024 menjadi 3.615.707 ton pada 2025, naik 405.679 ton atau sekitar 12,64 persen.
“Peningkatan ini merupakan hasil program tanam yang masif dan intervensi yang dilakukan secara tepat waktu,” ujar Heru kepada awak media, Jumat (6/6).
Ia menambahkan, mundurnya musim tanam akibat El Nino pada 2024 berdampak besar pada penurunan produksi tahun lalu. Tanam mundur hingga dua bulan, serta adanya konversi lahan ke komoditas lain seperti tembakau di wilayah-wilayah terdampak kekeringan, menyebabkan penurunan hasil panen di tahun tersebut.
Meski produksi mengalami kenaikan dan stok beras di lapangan disebut mencukupi, harga beras justru menunjukkan tren naik. Data dari Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo) menunjukkan bahwa harga rata-rata beras medium di Jawa Timur saat ini mencapai Rp 12.568 per kilogram. Harga tertinggi tercatat di Kota Probolinggo dan Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 13.500, sedangkan harga terendah di Kabupaten Bangkalan sebesar Rp 11.500.
Sementara itu, harga rata-rata beras premium mencapai Rp 14.667 per kilogram. Di Kabupaten Sidoarjo, harga tertinggi menyentuh Rp 16.250, dan harga terendah di Kabupaten Probolinggo sebesar Rp 13.400.
Kondisi ini menjadi sorotan Kementerian Pertanian. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan menyebut kenaikan harga di tengah stok yang melimpah sebagai anomali.
“Ini tidak benar. Produksi beras naik, stok melimpah, tapi harga ikut naik. Artinya ada middle man yang bermain di distribusi. Inilah yang kita sebut mafia pangan. Jangan main-main dengan urusan perut rakyat,” tegasnya.
Ia mengatakan bahwa Kementerian Pertanian bersama Satuan Tugas (Satgas) Pangan akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang memperpanjang rantai distribusi dan mengambil keuntungan berlebih.
Sementara itu, Pemimpin Perum Bulog Kanwil Jawa Timur, Langgeng Wisnu, mengungkapkan bahwa target pengadaan setara beras di Jatim sebanyak 593.000 ton. Hingga saat ini, realisasi pengadaan telah mencapai 361.904 ton atau sekitar 61,80 persen, dengan serapan gabah sebanyak 203.392 ton dan pengadaan beras 294.112 ton.
“Penyerapan kami rata-rata 10.000 ton per hari. Karena itu, stok beras di gudang Bulog mencapai 752 ribu ton dan beberapa gudang bahkan sudah penuh,” jelasnya.
Langgeng menegaskan bahwa Bulog akan terus menggencarkan serapan gabah petani, apalagi memasuki puncak panen pada April–Mei 2025. Diharapkan harga gabah di tingkat petani bisa tetap stabil sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) minimal Rp 6.500 per kilogram.
Namun tetap saja, harga beras yang naik di pasaran mengindikasikan adanya masalah di jalur distribusi. Pemerintah kini dihadapkan pada tantangan besar: memastikan bahwa keberhasilan produksi petani benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, bukan justru dimanfaatkan oleh oknum tertentu di rantai pasok.
Dengan meningkatnya produksi namun harga beras tetap tinggi, publik menanti langkah konkret dari pemerintah. Apakah mafia beras benar-benar akan ditindak? Atau lagi-lagi hanya menjadi wacana tanpa ujung? (*)