KabarBaik.co- Seperti bayangan kelam yang tak pernah benar-benar hilang, nama Iskandar kembali mencuat. Usianya kini 63 tahun, rambut mungkin sudah banyak memutih, tetapi akal bulusnya tetap berputar seperti roda nasib yang enggan berhenti. Pada 2019 lalu, dia baru menghirup udara bebas setelah 15 tahun meringkuk di balik jeruji besi karena kasus sadis yang menewaskan sembilan orang.
Modusnya sama. Janji manis penggandaan uang, berbalut ritual gaib, dengan racun sebagai “tinta terakhir” untuk menutup mulut para korban. Kali ini, di Pemalang, sepasang suami-istri (pasutri) kembali menjadi korbannya. Mbah Iskandar pun telah dibekuk polisi lagi, dan kembali meringkuk di tahanan. Ancaman hukuman mati pun menanti.
Jejak hitam Mbah Iskandar itu sebenarnya sudah terukir sejak lama. Ditarik garis ke belakang, ke malam Kamis, 2 Desember 2004, di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Malam itu, kampung mendadak gempar. Suparman, 50, warga Desa Margasari, meregang nyawa setelah kejang hebat. Sang istri, Wasriah, lebih beruntung, walaupun sempat pingsan empat jam, nyawanya masih tertolong.
Belum reda kabar duka itu, dinihari Jumat, kabar serupa datang dari desa lain. Pasutri Rofi’i. 55, dan Masturoh, 50, ditemukan tewas dengan cara yang sama. Tak lama berselang, Sarnadi, 45, —adik Rofi’i—ikut berpulang. Sementara Rochimah, warga Desa Pesarean, juga meregang nyawa. Adapun suaminya, Suharjo, 45, masih bisa diselamatkan setelah dirawat intensif di RSUD dr Soselo, Slawi.
Dalam sekejap, lima orang meninggal dengan pola serupa. Desa-desa di Tegal pun diselimuti kabut ketakutan, seperti ada kutukan yang turun dari langit.
Janji Uang Gaib yang Berujung Maut
Polisi bergerak cepat. Dari hasil otopsi, tubuh para korban mengandung arsenik, sianida, dan organofosfat. Racun mematikan yang tak akan salah lagi bila disebut senjata sunyi.
Pelakunya tak lain adalah Iskandar, yang kala itu masih berusia 49 tahun, warga Desa Wadasmalang, Bumijawa. Dari rumahnya, polisi menyita berbagai bahan beracun. Dari mulai sianida, racun tikus, hingga racun ikan alias potas.
Motifnya sederhana sekaligus keji. Takut kedoknya terbongkar. Sebab, sejak tiga bulan sebelum tragedi maut itu, Iskandar sudah menebar jaring. Dia muncul di desa dengan reputasi sebagai “orang sakti” yang mampu menggandakan uang. Seperti cerita-cerita mistis yang cepat menjalar lewat bisik-bisik warung kopi, kabar kesaktian itu segera menggaung.
Korban yang sedang terimpit masalah finansial pun datang berbondong-bondong. Ada mahar yang harus dibayar. Diperkirakan sekitar Rp 10 juta per orang. Ada ritual yang harus dijalani. Dan ada janji manis yang menggiurkan, yaikni uang mereka akan berlipat hingga Rp 17 miliar pada 5 Desember 2004.
Di rumah Rofi’i, tempat para pengikut berkumpul, Iskandar bahkan sempat memamerkan “kesaktiannya”. Dengan mata kepala sendiri, para korban menyaksikan sekarung klobot mendadak berubah menjadi tumpukan uang. Namun, uang itu tak boleh disentuh, katanya, sebelum berubah sempurna menjadi miliaran rupiah.
Air Sesaji Berbumbu Racun
Puncak ritual jatuh pada Rabu, 1 Desember 2004. Hari itu, selepas Asar, para korban berkumpul lagi di rumah Rofi’i. Air dimasak, lalu dituangkan ke baskom. Iskandar datang membawa kembang setaman, simbol sakral dalam ritual Jawa, lalu dicelupkan ke dalam air.
Polisi menduga, di situlah racun juga ikut larut. Air kemudian dibagi ke dalam kantong plastik kecil. Kepada para korban, Iskandar berpesan agar air itu diminum menjelang tengah malam, dengan mantra yang harus dirapal terlebih dulu.
Maka, pada 2 Desember malam, para korban meneguk air itu dengan penuh harapan. Tapi harapan justru berubah menjadi jerat maut. Satu per satu tumbang, racun bekerja cepat melumpuhkan tubuh. Suparman sempat bertahan paling lama, hingga pukul 02.00, sebelum akhirnya menyerah pada maut.
Kisah ini bak sebuah film horor. Menyeramkan sekaligus memilukan. Cerita Mbah Iskandar adalah cermin pahit tentang betapa rapuhnya manusia di hadapan janji instan. Keinginan kaya mendadak membuat logika menjadi runtuh, dan kepercayaan pada “uang gaib” membuka celah bagi sang algojo untuk menebar racun.
Siapakah sebenarnya sosok Iskandar? Dia dikenal warga sebagai lelaki sederhana dari Desa Wadasmalang, Kecamatan Bumijawa, Tegal. Sehari-hari penampilannya tak jauh beda dengan petani kebanyakan. Berbaju lusuh, berpeci hitam, dan tutur katanya pelan. Sebelum menahbiskan diri sebagai dukun pengganda uang, Iskanda seorang penarik atau tukang becak.
Namun, di balik kesederhanaan itu, ternyata Iskanda menyimpan aura misterius. Koleksi jenglot yang disimpannya menambah keyakinan sebagian orang bahwa dirinya memang punya “ilmu hitam”. Dari situlah mitos tentang kesaktiannya tumbuh, meski semua itu hanyalah kedok untuk menjerat mangsa.
Kini, dua dekade setelah tragedi itu, nama Iskandar kembali muncul dengan kasus serupa. Seperti ular yang berganti kulit tapi tetap berbisa, dia seolah tak pernah jera.
Cerita ini bukan sekadar kisah kriminal, melainkan juga alaram. Bahwa, tak ada jalan pintas menuju kesejahteraan atau kemakmuran, selain keringat dan kerja keras. Sebab, janji kekayaan instan kadang hanyalah pintu gerbang menuju liang lahat. (*)