KabarBaik.co – Di sudut perkampungan padat penduduk di Jalan Kedungdoro Lima, Surabaya, ada seorang wanita tua yang berjalan perlahan menuju sekolah kecil. Meski wajahnya dihiasi keriput usia, tetapi matanya memancarkan semangat luar biasa. Dialah Chamimah, seorang guru berusia 85 tahun yang masih teguh mengabdikan hidupnya untuk dunia pendidikan.
Chamimah, yang lahir pada tahun 1939, bukanlah orang biasa. Ia adalah adik kandung dari Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia. Namun, kehidupan sederhana yang ia pilih tak mencerminkan kemewahan status keluarganya. Sejak tahun 1963, ia telah menjadi pendidik di Taman Kanak-Kanak Masa Putra Bakti, tempat yang hingga kini menjadi rumah keduanya.
Meski sempat menjadi guru di Sekolah Dasar Banyu Urip pada tahun 1977 dan pensiun pada 2021, Chamimah tak ingin berhenti. “Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa anak-anak,” ujarnya dengan suara lirih, sembari tersenyum.
Ia kembali mengajar di TK Masa Putra Bakti dengan gaji Rp 400 ribu per bulan, jauh dari kata layak, tetapi baginya itu bukan masalah.

Bagi Chamimah, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan. Ia percaya bahwa mendidik adalah ibadah. “Anak-anak adalah masa depan. Selama saya masih bisa berdiri dan berbicara, saya ingin terus bersama mereka,” katanya sambil mengelus kepala seorang murid yang menghampirinya.
Rekan sejawat dan kepala sekolah kerap meminta Chamimah untuk beristirahat. Namun, ia selalu menolak. “Kalau saya berhenti, saya takut pikun. Mengajar menjaga pikiran saya tetap hidup,” katanya ringan.
Kepala TK Masa Putra Bakti, Karyanik, mengakui bahwa semangat Chamimah sering menjadi inspirasi bagi guru-guru muda. “Beliau datang paling pagi dan selalu ceria. Kami yang muda sering kalah semangat,” ujar Karyanik.
Dibalik pengabdiannya yang tanpa batas, Chamimah memiliki satu harapan sederhana: realisasi kenaikan upah guru honorer seperti yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto. “Saya tidak mengeluh. Tapi, kalau gaji guru bisa naik, itu akan membantu banyak,” ucapnya sembari memandang ruang kelas sederhana tempat ia mengajar.
Kisah hidup Chamimah adalah perjalanan cinta dan dedikasi tanpa henti. Ia memulai karirnya di usia muda, mendidik ribuan anak dari berbagai latar belakang. Banyak dari mereka kini sukses, tetapi tak pernah lupa pada gurunya yang penuh kasih.
Bagi murid-muridnya, Chamimah adalah sosok nenek yang bijak. Ia mengajarkan mereka bernyanyi, bercerita, dan mengenal dunia dengan cara yang penuh kehangatan. Ketika ia mengajar, ruang kelas kecil itu terasa hidup dengan tawa dan keceriaan.
Di sela-sela kesibukannya, Chamimah sering merenung. Ia berkata, “Hidup ini bukan tentang berapa lama kita hidup, tapi seberapa banyak manfaat yang kita berikan.” Baginya, usia hanyalah angka. Selama tubuh dan pikirannya mengizinkan, ia akan terus mengabdi.
Chamimah telah menjadi simbol perjuangan tanpa batas di dunia pendidikan. Dalam kesederhanaannya, ia menunjukkan bahwa cinta dan dedikasi bisa mengalahkan segala keterbatasan. Kisahnya adalah pengingat bagi kita semua, bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi.
Di usia senjanya, Chamimah tetap menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya tantangan pendidikan. Semoga harapannya untuk kesejahteraan guru honorer segera terwujud, sebagai penghormatan atas perjuangan yang telah ia dedikasikan sepanjang hidupnya. (*)