Dari Sunyi ke Gaduh: Kisah Deni Apriadi Menuju Ketahanan di Tengah Badai

oleh -305 Dilihat
DENI
Deni Apriadi Rahman alias Dea Lipa. (Foto IG)

KabarBaik.co- Praya Timur adalah sebuah desa yang tenang di Lombok Tengah, NTB. Di desa itu terlahir seorang anak bernama Deni Apriadi Rahman. Ia tumbuh dalam dunia yang lebih hening dari milik kebanyakan orang. Pendengarannya melemah sejak kecil. Suara orang-orang di sekitarnya sering kali terdengar seperti bisikan jauh yang sulit dipahami.

Namun, kesunyian itu justru membuka pintu lain. Deni melihat dunia dengan tajam, memperhatikan warna, cahaya, dan detail yang luput dari banyak orang. Kesunyian membuat matanya bekerja dua kali lebih peka.

Berkat ketajaman itu, tangan Deni akhirnya menemukan jalannya. Ia belajar merias wajah dari video-video daring. Ia tidak mendengarkan instruksi suara, tetapi membaca gerakan kuas, sudut tangan, komposisi warna. Semua dipelajari dalam keheningan yang menjadi gurunya sejak kecil. Dari latihan itu lahirlah Dea Lipa, sosok berhijab yang kelak dikenal luas di Lombok sebagai perias anggun dan lembut.

Sebagai Dea, Deni merias ratusan pengantin. Dia menjadi tulang punggung keluarga, membantu ibunya, menyokong kehidupan rumah, dan perlahan-lahan membangun rasa percaya diri yang dulu hilang akibat perundungan. Dunia merias menjadi ruang aman baginya. Di sana, ia bisa menjadi diri sendiri, atau setidaknya versi diri yang memberi ketenangan.

Namun hidup kadang berjalan seperti laut yang tampak tenang, lalu tiba-tiba mengangkat ombak setinggi langit. Pada 6 November 2025, sebuah unggahan Facebook menampilkan foto Deni dalam penampilan laki-laki disandingkan dengan foto dirinya sebagai Dea Lipa berhijab. Dalam hitungan jam, unggahan itu dibagikan ribuan kali. Nama Dea mendadak menjadi perbincangan publik. Meluas.

Publik terbelah. Ada yang merasa ditipu, terutama klien perempuan yang mengira MUA (make up artist) mereka adalah sesama wanita. Ada yang menuduhnya melecehkan privasi perempuan. Ada pula yang melempar tuduhan agama seperti penistaan, penyimpangan, hingga isu-isu liar tentang orientasi seksual. Narasi yang tak pernah terucapkan darinya, tiba-tiba menempel padanya seperti bayangan gelap.

“Sister Hong Lombok” pun muncul, membandingkannya dengan kasus di negara lain yang sarat penipuan dan motif seksual. Padahal, Deni sudah membantah seluruh tuduhan tersebut. Dia menegaskan, dirinya hanya ingin mengekspresikan diri. Tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Tetapi, internet bergerak cepat, jauh lebih cepat daripada penjelasan manusia.

Pada 15 November 2025, Deni akhirnya tampil di konferensi pers di Mataram. Ia datang tanpa hijab, dengan pakaian laki-laki, dan wajah yang tampak lelah. Di hadapan kamera dan wartawan, Deni menangis. Mengakui bahwa dirinya memang laki-laki. Meminta maaf karena tidak jujur sejak awal, dan menjelaskan bahwa penampilannya sebagai perempuan itu lahir dari kekaguman terhadap kelembutan dan keanggunan perempuan berhijab. Bagi Deni, hijab bukan alat tipu, melainkan simbol yang ia juga hormati. Deni pun berjanji tidak akan lagi mengenakannya untuk menghindari kegaduhan lanjutan.

Namun badai yang terlanjur terbangun tidak mudah mereda. Deni telah menerima ribuan hujatan. Ancaman pun datang. Media sosial menjadi tempat yang menggelegar, bahkan bagi seseorang yang tidak bisa mendengar dengan jelas. Fitnah tentang moral dan orientasi seksual mengalir seperti sungai keruh. Tekanan itu membuatnya hampir menyerah. Dia mengaku sempat mencoba mengakhiri hidup. Kini, ia berada dalam pendampingan psikologis dari instansi sosial di NTB, berupaya menjaga diri agar tetap bertahan.

Akibat kasus ini, pekerjaannya sebagai MUA berhenti total. Klien membatalkan pesanan. Tim rias yang bekerja bersama Deni ikut kehilangan penghasilan. Keluarganya, ibu dan bibi, berdiri di sampingnya, turut meminta maaf kepada publik. Jangan ada lagi penghakiman massal.

Meski badai besar menimpa hidupnya, beberapa pihak tetap menyalakan lilin kecil harapan. Tokoh agama dari PWNU NTB menyerukan pembinaan, bukan persekusi. Pejabat daerah menekankan pentingnya pendampingan untuk Deni, terutama mengingat disabilitas, trauma masa kecil, dan tekanan psikologis yang dialami sejak viral.

Di tengah gemuruh itu, Deni berdiri rapuh. Namun dalam psikologi, ada konsep bernama resiliensi. Yakni, kemampuan untuk melenting kembali setelah dihantam tekanan. Resiliensi bukan tentang menjadi kuat setiap saat. Resiliensi adalah seni belajar berdiri perlahan, walaupun kaki masih gemetar.

Deni kini tengah belajar membangun ulang hidupnya setahap demi setahap. Ia mesti mendekat pada keluarganya, yang menjadi jangkar saat dunia luar terasa tak aman. Mengurangi kehadiran di media sosial untuk sementara, meredakan serangan. Deni sebaiknya mulai berupaya menemukan kembali makna pekerjaannya, mungkin sebagai MUA yang transparan dan profesional. Mungkin dengan membuat konten baru dengan jati dirinya yang sesungguhnya. Tetap merias tanpa menyembunyikan siapa dirinya. Percaya bahwa rezeki pasti tidak akan tertukar.

Pemulihan tidak terjadi dalam sehari. Ibarat merias wajah yang lelah, kuas digerakkan perlahan, warna ditumpuk hati-hati, hingga cahaya muncul kembali sedikit demi sedikit. Begitu pula hidup Deni. Dia mungkin merasa telah jatuh sangat keras, tetapi juga berada pada titik yang dapat menjadi awal baru.
Jika suatu hari nanti Deni kembali bekerja, mungkin akan membawa kisah tentang seseorang yang pernah terhempas badai, tetapi memilih bangkit. Dan, dari kesunyian yang dulu membatasi hidupnya, Deni mungkin akan menemukan suara baru. Suara dari dalam dirinya sendiri, yang akhirnya berani berkata: Aku mampu melewati ini. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.