KabarBaik.co – Ekonomi Indonesia masih belum mampu lepas dari jerat stagnasi. Dalam lima tahun terakhir, laju pertumbuhan nasional belum juga menembus angka psikologis 5 persen. Bahkan pada 2026 mendatang, kondisi ini diperkirakan belum akan banyak berubah.
Ekonom DR. Miguel Angel Esquivias menyebutkan bahwa sejak tahun lalu, sejumlah sektor strategis seperti properti, infrastruktur, dan energi mengalami perlambatan.
“Sektor yang masih menunjukkan daya tarik hanya teknologi, karena menjadi pusat perhatian investor,” ungkap Miguel dalam forum Inspire, Innovation Networking & Strategic Platform for Industrial Excellence yang digelar Kadin Surabaya bekerja sama dengan Kadin Jatim, Kadin Institute, dan KMMB, Selasa (5/8).
Miguel menilai, ketidakpastian global dan perubahan kebijakan di berbagai negara membuat ruang gerak ekonomi Indonesia makin sempit. Banyak negara kini mengedepankan strategi proteksi demi menjaga stabilitas ekonomi domestik masing-masing.
Namun di tengah kondisi nasional yang lesu, Jawa Timur justru dibebani target ambisius: pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029. Target ini bukan sekadar wacana. Pada Triwulan I/2025, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur telah mencapai Rp 819,30 triliun—kontribusi terbesar kedua secara nasional, yakni 25,11 persen terhadap ekonomi Pulau Jawa.
Sayangnya, di balik angka tersebut, ketimpangan masih membayangi. Sektor pertanian misalnya, menyerap lebih dari 10 persen tenaga kerja, namun kontribusinya terhadap PDRB tetap kecil.
“Mayoritas petani masih menjual produk dalam bentuk mentah, padahal Jatim adalah sentra pangan nasional—mulai dari beras, jagung, susu, telur, bawang, hingga daging,” terang Sekretaris Bappeda Jatim, Andhika Paratama Herlambang.
Ketimpangan juga terlihat di sektor industri pengolahan. Dari 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya empat daerah—Surabaya, Sidoarjo, Kediri, dan Pasuruan—yang menyumbang lebih dari 10 persen terhadap PDRB. Sementara itu, lebih dari separuh wilayah justru kontribusinya tak sampai 1 persen.
“Pusat ekonomi masih terkonsentrasi di wilayah tertentu. Ini perlu dibenahi melalui hilirisasi dan pemerataan industri,” tegas Andhika.
Wakil Ketua Kadin Surabaya, Medy Pramkoso, menyoroti potensi Surabaya sebagai simpul logistik nasional. Namun tingginya biaya produksi dinilai masih menjadi penghambat daya saing.
“Surabaya bisa jadi motor pemulihan ekonomi nasional, asalkan bisa menekan cost produksi dan mempercepat reformasi SDM,” katanya.
Sementara itu, Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, menekankan pentingnya investasi dan transformasi tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan. Ia menyebut daya saing Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangga. Karena itu, Kadin Jatim menggandeng Pemprov untuk memperkuat sumber daya manusia (SDM) melalui pembentukan Tim Peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di seluruh daerah.
Ironisnya, dari 38 kabupaten/kota di Jatim, masih ada 10 daerah yang belum memiliki Tim TKDN—termasuk Surabaya. “Padahal, Surabaya diharapkan menjadi lokomotif pembangunan SDM unggul. Pemerintah daerah harus lebih serius membenahi pendidikan vokasi,” tegas Adik.
Dalam forum tersebut, Miguel juga menawarkan sejumlah solusi strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya integrasi regulasi pusat dan daerah melalui digitalisasi, pembentukan zona investasi satu pintu, serta penguatan diplomasi dagang untuk meningkatkan daya tawar Indonesia di mata dunia.
Jawa Timur memang memiliki fondasi kuat untuk tumbuh. Namun untuk benar-benar melesat secara inklusif dan berkelanjutan, provinsi ini perlu lompatan besar—dari hulu ke hilir, dari regulasi ke implementasi, dari pertumbuhan menuju pemerataan.