KabarBaik,co- Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Kepulauan Riau (Kepri) menjatuhkan vonis pidana mati terhadap Kompol Satria Nanda, mantan Kepala Satuan Narkoba Polresta Barelang. Perwira menengah itu dianggap bersalah dalam kasus penyisihan dan penjualan barang bukti sabu-sabu.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang banding di Tanjungpinang, Selasa (5/8), dan sekaligus membatalkan vonis seumur hidup dari Pengadilan Negeri (PN) Batam.
Sidang banding tersebut dipimpin Hakim Ahmad Shalihin dengan anggota Bagus Irawan dan Priyanto Lumban Radja. Priyanto yang juga juru bicara PT Kepri menyampaikan, majelis sepakat menjatuhkan hukuman maksimal karena Satria dianggap menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum.
“Sebagai kasatresnarkoba, terdakwa seharusnya bisa mencegah tindak pidana ini. Namun ia justru membiarkan, padahal memiliki kebijakan untuk menghentikannya,” tegas Priyanto sebagaimana diwartakan Antara.
Vonis mati ini juga dijatuhkan kepada Shigit Sarwo Edhi, mantan Kanit I Satresnarkoba Barelang, yang juga diperberat dari seumur hidup menjadi pidana mati.
Sebelumnya, pada 4 Juni 2025, PN Batam memvonis Satria Nanda penjara seumur hidup. Jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut mati, serta pihak terdakwa, sama-sama mengajukan banding.
Tidak hanya Satria dan Shigit, majelis hakim juga membacakan putusan terhadap enam terdakwa lain dalam kasus serupa. Yakni, Junaidi Gunawan, Aryanto, Jaka Surya, Wan Rahmat Kurniawan, dan Alex Candra. Putusan banding menguatkan vonis seumur hidup yang dijatuhkan PN Batam kepada mereka.
Sementara itu, dua terdakwa lain mendapat putusan berbeda, Untuk Zulkifli Simanjuntak (kurir) tetap dihukum 20 tahun penjara. Adapun Azis Martua Siregar, eks anggota Brimob Polda Kepri yang juga residivis narkoba, hukumannya diperberat dari 13 tahun menjadi 20 tahun.
“Pertimbangan majelis, Azis adalah residivis dan saat kejadian masih menjalani hukuman narkoba,” jelas Priyanto.
Kronologi Kasus
Dari data yang dihimpun, kasus ini bermula dari pernyataan Rahmadi kepada Fadillah. Bahwa, ia mendapat informasi dari kakaknya, Hendriawan, tentang rencana masuknya 300 kilogram sabu-sabu dari Malaysia pada Februari 2024. Informasi ini kemudian diteruskan kepada Shigit sekitar Mei 2024. Namun, Rahmadi kemudian mengoreksi bahwa jumlah sabu yang masuk hanya 100 kg.
Dalam pembicaraan selanjutnya, mereka berencana memberikan imbalan kepada Hendriawan sebesar Rp 20 juta per kilogram sabu yang berhasil digerebek. Uang tersebut rencananya diambil dari 10 kg sabu sitaan yang akan dijual.
Shigit kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada Satria, yang baru saja dilantik sebagai Kasat Narkoba Polres Barelang. Saat itu, Satria menyarankan agar mereka mencari target operasi berskala kecil dan menanyakan apakah aman jika sebagian barang bukti disisihkan. Anak buahnya meyakinkan bahwa hal itu aman.
Pada 29 Mei 2024, Polda Kepulauan Riau mengumumkan pengungkapan kasus besar. Wakapolres Barelang pun menyinggung Satuan Reserse Narkoba Barelang yang dinilai “tidur” karena belum memiliki tangkapan besar. Mendengar sindiran tersebut, Satria memerintahkan anak buahnya untuk menindaklanjuti informasi dari Rahmadi. Operasi penggagalan penyelundupan sabu pun dilakukan.
Pada 15 Juni 2024, mereka menyita 44 kg sabu yang dikemas dalam 44 bungkus. Sebelumnya, 6 kg sudah diambil oleh pihak Malaysia, sehingga yang masuk ke Indonesia tersisa 44 kg. Dari jumlah itu, 9 kg disisihkan sebagai upah untuk Hendriawan yang menunggu barang di Jakarta. Dua hari kemudian, pada 17 Juni 2024, Shigit menyetujui penjualan 1 kg sabu melalui Aziz Martua Siregar seharga Rp 400 juta. Penjualan lain juga dilakukan melalui Busro dan Zulkifli Simanjuntak.
Perbuatan para polisi ini terungkap pada 10 September 2024, sekitar pukul 11.20 WIB, ketika anggota Polres Indragiri Hilir menangkap orang suruhan mereka yang hendak menjual narkoba.
Nah, dalam sidang tuntutan yang digelar di PN Batam, 26 Mei 2025, JPU menuntut hukuman mati bagi Satria Nanda. Jaksa menilai Satria melakukan tindak pidana narkotika secara sistematis dan terencana, karena tidak hanya menyisihkan barang bukti, tetapi juga terlibat dalam pemufakatan jahat dan percobaan peredaran narkotika golongan I bukan tanaman dengan berat melebihi 5 gram.
Berdasarkan dakwaan, Satria diduga melanggar Pasal 87, 89, 90, 91 ayat (2) dan (3), serta Pasal 92 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 132 ayat (1) UU yang sama, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 140 ayat (2) UU Narkotika.
Selain Satria, tuntutan hukuman mati juga diajukan terhadap 4 anggota kepolisian lain di bawah komandonya, yakni Shigit Shargo Edhi, serta tiga penyidik Subnit 1 masing-masing Rahmadi, Fadillah, dan Wan Rahmat. Mereka dianggap berperan aktif dalam penyisihan barang bukti sabu dan pemufakatan untuk mendistribusikannya kembali.
Enam mantan anggota polisi lainnya, Ariyanto, Alex Chandra, Ibnu Ma’ruf Rambe, dan Jaka Surya, menghadapi tuntutan penjara seumur hidup karena peran mereka dalam penyisihan barang bukti. Sementara itu, dua terdakwa sipil, Aziz Martua Siregar dan Zulkifli Simanjuntak, yang berperan sebagai kurir dan bandar, masing-masing dituntut 20 tahun penjara.
Saat itu, seusai persidangan, pengacara Satria Nanda, Calvin Wijaya, menyatakan pihaknya belum menerima putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana seumur hidup terhadap kliennya. Dia berharap putusan di tingkat banding dapat lebih ringan.
Namun, harapan itu terbukti kandas. Pengadilan banding tetap memvonis mati. Dengan putusan ini, dua perwira polisi, yang sejatinya di bawah sumpah bertugas memberantas narkoba, justru menjadi terdakwa utama dalam skandal penyisihan sabu-sabu. (*)