KabarBaik.co – Surabaya sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia masih bergulat dengan ancaman banjir, terutama saat curah hujan tinggi. Genangan yang muncul di sejumlah titik setelah hujan deras dalam beberapa hari terakhir menjadi sinyal bahwa persoalan banjir tetap menjadi pekerjaan rumah besar, baik bagi pemerintah maupun masyarakat.
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dio Alif Hutama, menilai risiko banjir berpotensi meningkat jika infrastruktur kota tidak segera dibenahi. Menurutnya, kemampuan drainase Surabaya masih belum memadai untuk menghadapi fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi.
“Genangan yang muncul menunjukkan kapasitas drainase perkotaan Surabaya masih belum memadai, khususnya menghadapi cuaca ekstrem. Permukaan tanah yang tertutup beton membuat air sulit meresap, sementara beberapa saluran mengalami sedimentasi dan kapasitasnya terbatas,” ujar Dio dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/11).
Dio menjelaskan, banjir pada musim penghujan biasanya dipicu kombinasi faktor alam dan ulah manusia. Curah hujan yang tinggi dalam waktu singkat mudah melampaui kapasitas drainase, terlebih jika saluran tersumbat sampah atau dangkal akibat sedimentasi.
“Makin banyak beton dan aspal membuat air hujan tidak dapat meresap secara alami sehingga mengalir ke permukiman atau jalan. Di wilayah pesisir seperti Surabaya, risiko banjir rob akibat gelombang pasang dari Selat Madura juga memperparah kondisi,” jelas Dio.
Mengantisipasi kondisi tersebut, Dio mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya segera mengambil langkah preventif sebelum memasuki puncak musim hujan pada awal tahun depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim hujan Surabaya terjadi pada Januari–Februari 2026, yang berpotensi dibarengi cuaca ekstrem.
Menurutnya, seluruh fasilitas pengendalian banjir harus dipastikan berfungsi optimal, mulai dari normalisasi saluran, perawatan pompa air, hingga memastikan pintu air dan pintu laut bekerja baik.
“Tata kelola kota yang baik perlu dilakukan secara terpadu. Tidak cukup hanya memperbaiki saluran, tetapi juga memastikan tidak ada alih fungsi lahan resapan seperti ruang terbuka hijau atau lahan basah,” tegasnya.
Dio juga menekankan pentingnya mengoptimalkan bozem atau kolam retensi untuk menampung sementara air hujan sebelum dialirkan ke sungai atau laut. Upaya ini harus dibarengi penegakan tata ruang serta edukasi kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan saluran air.
“Penanganan banjir harus melibatkan semua pihak. Pemerintah perlu memastikan infrastruktur pengendali banjir berfungsi optimal, sementara masyarakat juga harus berpartisipasi menjaga lingkungan. Dengan sinergi yang baik, Surabaya dapat menjadi kota yang lebih nyaman dan resilien menghadapi cuaca ekstrem,” pungkasnya. (*)







