KabarBaik.co – Pimpinan Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang menggelar dialog terbuka bertema ‘Pahlawan Bangsa, Tanda Jasa atau Perjuangan yang Nyata?’ di Warung Kopi Mulyorejo, Jombang.
Acara ini menjadi ruang diskusi bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengulas kembali makna kepahlawanan serta persoalan ketidaksetaraan dalam profesi guru.
Wakil Ketua 2 Bidang Eksternal PC PMII Jombang Purwanto menjelaskan bahwa dialog digelar agar para kader memahami bahwa pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang dan memberi kontribusi nyata.
“Guru itu sangat berjasa karena mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi label ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ justru sering membuat guru seperti dituntut bekerja tanpa diperhatikan kesejahteraannya,” ujar Purwanto Rabu (19/11).
Purwanto juga menyoroti adanya ‘kasta’ dalam profesi guru, mulai dari honorer, PNS, PPPK, hingga PPPK paruh waktu. Menurutnya, kondisi ini memperjelas ketimpangan kesejahteraan yang masih dialami para pendidik.
“Di pelosok masih banyak guru honorer yang hidup jauh dari sejahtera. Pemerintah harus punya formulasi tepat untuk mengatasi kesenjangan ini. Derajat, martabat, dan kesejahteraan guru harus ditingkatkan,” tegasnya.
Ketua PC PMII Jombang Suhalif Hosaini mengungkapkan bahwa dialog juga membahas isu penetapan pahlawan nasional yang belakangan menjadi perbincangan publik.
“Yang ramai sekarang itu soal Soeharto yang diusulkan menjadi pahlawan nasional, disandingkan dengan tokoh seperti Syaikhona Kholil, Gus Dur, hingga Marsinah. Kami ingin mengkajinya secara ilmiah dan historis, tidak emosional,” jelasnya.
Ia memastikan dialog serupa akan terus digelar, dengan fokus pada isu pendidikan, hukum, dan HAM. PMII Jombang, kata Suhalif, berkomitmen membuka ruang diskusi kritis bagi publik.
Salah satu pemateri, aktivis GusDurian Tafuzi Muiz, menegaskan bahwa kepahlawanan tidak ditentukan oleh gelar, tetapi oleh perjuangan nyata.
“Pengakuan sebagai pahlawan itu bonus. Tidak pantas seseorang mengaku pahlawan untuk dirinya sendiri. Di Indonesia pun, yang mengusulkan gelar itu orang lain,” ujarnya.
Tafuzi juga menyebut bahwa penggunaan gelar sebagai alat meredam kritik sudah lama terjadi sejak masa kerajaan. “Sekarang bentuknya berubah saja, dari gelar tradisional menjadi bintang dan tanda jasa,” kata dia.
Pemateri lain, Aris Setiawan, akademisi STIT UW, membahas kesenjangan profesi guru melalui teori keseimbangan dan sibernetik Talcott Parsons. Ia menilai label ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ menjadi hambatan struktural yang mengurangi daya tawar guru.
Aris merinci empat hambatan yang selama ini membelenggu guru.
Hambatan kultural, guru dianggap harus bekerja tanpa pamrih sehingga tuntutan kesejahteraan dianggap menyimpang.
Hambatan sosial, stereotip sejak bangku kuliah melemahkan mental dan posisi tawar calon guru.
Hambatan psikologis, rendahnya empati publik karena menganggap gaji kecil sebagai ‘kewajaran’.
Hambatan organisasional, kesenjangan antara PNS dan honorer yang menciptakan ketimpangan dan konflik sosial.
Menurut Aris, budaya tersebut bukan hanya merugikan guru, tetapi juga menghambat pembenahan sektor pendidikan secara menyeluruh.
Dialog ini diharapkan menjadi momentum untuk mendorong solusi konkret terkait kepahlawanan, keadilan profesi, dan masa depan pendidikan Indonesia. (*)








