KabarBaik.co- Seperti arus pasang yang membawa keberkahan, ribuan manusia akan menepi ke satu muara. Pondok Pesantren (Ponpes) Qomaruddin, Bungah, Kamis (13/11) siang ini. Di sanalah, Haul Bungah ke-127 kembali digelar. Sebuah napas panjang tradisi yang mengalir dari generasi ke generasi untuk mengenang KH Moh. Sholih Tsani, ulama besar yang sinarnya tak pernah padam di bumi Nusantara.
Bakda Duhur nanti, tepat pukul 13.00 WIB, kompleks pesantren tua di jantung Bungah tersebut akan berdenyut seperti jantung spiritual di Kabupaten Gresik. Jalur Pantura Manyar–Sedayu diperkirakan padat. Bukan hanya karena kendaraan, tetapi karena langkah-langkah para jemaah yang membawa doa, harap, dan rindu akan keberkahan.
“Monggo, para santri, alumni, wali santri, dan seluruh masyarakat hadir. Semoga keberkahan ini kita bagi bersama-sama,” tutur KH Alauddin, pengasuh Ponpes Qomaruddin.
Dari Khidiran hingga Lailatul Qiraah, dari zikir hingga bubur lima warna yang melambangkan syukur dan kebersamaan, seluruh rangkaian haul seolah menenun kisah kebajikan dan kebersamaan dalam satu kain waktu yang utuh. Tahun demi tahun, warna-warni itu tak pernah pudar.
Kehadiran Habib Umar Al Muthohar dari Semarang menjadi magnet tersendiri di puncak acara, sementara lantunan ayat suci dari Ustad Wahyu Andi Saputra, qari internasional, telah lebih dulu menggema pada malam sebelumnya. Suara-suara yang menembus hati, sejernih embun di daun subuh.
Haul Bungah bukan hanya tentang zikir dan doa. Namun, juga tentang kehidupan yang berpesta di bawah payung keberkahan. Jalan-jalan di sekitar pesantren menjelma pasar tumpah, di mana ribuan pelaku UMKM menjajakan rezeki. Dari aroma sate yang menggoda hingga kain batik dan perkakas rumah tangga yang berjejer rapi. Seolah setiap detak ekonomi pun ikut bersalawat. Dulu, tradisi ini menjadi satu simpul raksasa, sebuah wisata religi musiman di Gresik.
Cahaya Kedua yang Menyulut Pelita Abadi dari Sampurnan
Di tanah sunyi Rengel, Tuban, lahirlah seorang anak bernama Mohammad Nawawi, yang kelak dikenal sebagai KH Moh. Sholih Tsani. Nama yang membawa makna “yang kedua”. Bukan sekadar penanda urutan, tetapi simbol penerus cahaya, pelanjut suluh keilmuan yang diwariskan oleh sang kakek, KH Moh. Sholih Awal. Dari sinilah riwayat panjang seorang ulama yang lembut tapi teguh, sederhana namun berwawasan luas, memantulkan sinar kebijaksanaan dari generasi ke generasi.
Sejak kecil, Nawawi meneguk ilmu dari sumur hikmah keluarganya di Pesantren Qomaruddin, Sampurnan, Bungah. Dari ayahandanya, Madyani (KH Abu Ishaq), dan dari ibundanya, Nyai Rosiyah binti KH Moh. Sholih Awal, Nawari mewarisi semangat kesucian ilmu yang tak kenal lelah. Namun, langkahnya tak berhenti di sana.
Nawawi beranjak ke Pesantren Kedung Madura, Sidoarjo, berguru pada Kiai Nidlomuddin, murid dari Kiai Salim bin Samir Al-Hadromi, pengarang kitab Safinatun Najah. Di tempat ini pula Nawawi bersahabat dengan seorang santri yang kelak harum namanya di seluruh Nusantara: Syaikhonan KH Moh. Kholil Bangkalan, yang pada 10 November 2025, ditetapkan pemerintah sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
Dua santri muda itu, seperti dua bintang di langit pesantren. Bersinar dengan cahaya yang berbeda, namun saling melengkapi. Nawawi menekuni fikih dengan ketelitian seorang hakim syariah, sementara Kholil mengakrabi ilmu alat (nahwu-sharaf) dengan kecermatan seorang arsitek bahasa. Dalam candaan mereka terselip nubuwah kecil tentang masa depan ilmu:
Sejumlah candaan dua sahabat santri sejati itu tertulis dalam sebuah buku Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Qomaruddin. karya H. Abd. Rouf Djabir MAg. Dkk. “Buat apa mempelajari fikih, tak ada orang zakat onta di Indonesia,” seloroh Kholil. “Buat apa mempelajari nahwu-sharaf, kelak kitab-kitab kuning akan diterjemahkan,” jawab Nawawi sambil tersenyum.
Kini, di abad yang berbeda, gurauan tersebut seolah menjelma kenyataan. Kitab-kitab kuning memang telah banyak diterjemahkan. Namun demikian, ruh nahwu-sharaf dan fikih tetap berdiri kokoh, seperti dua sayap yang membawa pesantren terbang di langit keilmuan.
Pada usia 25 tahun, Nawawi menikahi Nyai Muslihah, misannya sendiri. Ini sesuai wasiat gurunya agar cinta tidak hanya menyatukan hati, tetapi juga menjaga darah ilmu agar tetap mengalir di keluarga ulama. Dari pernikahan itu lahir sebelas permata hati, yang kelak menjadi penerus dakwah, membangun pesantren, menulis kitab, dan menanam nilai-nilai Islam di berbagai penjuru Jawa.
Keturunannya menyebar seperti cabang-cabang pohon yang tumbuh subur di ladang ilmu. Dari KH Ismail sang pemangku pesantren, hingga KH Abdul Karim pendiri Jam’iyatul Quro’, semuanya menorehkan jejak yang berpijak di akar Sholih Tsani.
Tahun 1279 H/1862 M menjadi babak baru. Setelah menunaikan perintah hati dan menapaki takdirnya, Nawawi diangkat menjadi pemangku Ponpes Qomaruddin Sampurnan, menggantikan Kiai Musthofa, ayah mertuanya. Sepuluh tahun kemudian, seusai menunaikan ibadah haji, ia pulang dengan nama baru: KH Moh. Sholih Tsani, Sholih yang kedua. Dalam makna spiritual: bukan pengganti, melainkan penerus cahaya keabadian.
Di bawah kepemimpinannya, pesantren tumbuh seperti pohon besar dengan daun-daun ilmu yang rindang. Santri datang dari penjuru Nusantara. Dari Surabaya, Madura, Pasuruan, Lumajang, hingga Cirebon dan Banten. KH Sholih Tsani mendirikan asrama-asrama baru, memperbaiki langgar agung, dan menciptakan tradisi pengajian Pasaran Legi, tempat para santri kalong menimba ilmu tanpa harus menetap. Dari tradisi inilah lahir sebutan “santri legian,” mereka yang haus ilmu meski waktu dan jarak membatasi.
Tak hanya mengajar, KH Sholih Tsani menulis. Dari tangannya lahir kitab-kitab yang menyinari lintasan fiqih dan tauhid. Kitabus Syuruth, panduan syarat dan rukun ibadah umat; Nadhom Qashidah lis Shibyan, untaian syi’ir tauhid bagi anak-anak, agar cinta kepada Allah tumbuh sejak dini; Tashilul Awam fi Mas’alatis Shiyam, penjelasan lembut tentang puasa bagi kaum awam.
Tulisannya bukan sekadar huruf di atas kertas, tetapi pancaran hikmah dari jiwa yang jernih. Cahaya ilmu yang tak padam bahkan setelah sang penulis kembali ke pangkuan Ilahi.
Pada hari Kamis, 24 Jumadil Ula 1320 H (28 Agustus 1902 M), KH Moh. Sholih Tsani berpulang. Langit Bungah seolah menundukkan diri, dan ribuan santri serta ulama mengiringi kepergiannya. Beliau dimakamkan di tanah para muassis, tempat para penjaga nur ilmu beristirahat dalam keabadian.
Namun, seperti cahaya yang menembus waktu, namanya tak pernah padam. Di setiap langgar, di setiap pengajian, dan di setiap kitab kuning yang terbuka, nama KH Moh. Sholih Tsani masih bergema, sebagai simbol ketekunan, ketawadhu’an, dan cinta ilmu yang tak lekang dimakan zaman.
Beliau bukan hanya “Sholih yang kedua.” Ia adalah Sholih yang menghidupkan kembali makna kesholihan itu sendiri. Dalam ilmu, amal, dan keteladanan. (*)






