KabarBaik.co – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menegaskan sikap tegasnya untuk tidak memberikan gelar guru besar kehormatan atau honoris causa kepada siapa pun. Keputusan ini sejalan dengan arahan dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang melarang pemberian gelar profesor kehormatan di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA).
Rektor Umsida, Dr. Hidayatulloh, menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan langkah yang tepat demi menjaga reputasi dan integritas akademik. Menurutnya, gelar profesor merupakan pencapaian akademik tertinggi yang tidak dapat diberikan secara sembarangan.
“Jadi tidak mungkin kita memberikan gelar akademik profesor bagi orang yang tidak melewati pencapaian gelar akademik mulai dari bawah tersebut,” tuturnya.
Ia menambahkan, proses untuk menjadi profesor harus dilalui secara bertahap mulai dari jabatan asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga guru besar. Selain itu, seorang dosen juga wajib memiliki rekam jejak akademik yang teruji melalui riset, publikasi ilmiah, dan pengabdian masyarakat. Hal itu menjadi bukti kemampuan akademik yang sah dan bukan sekadar simbolis.
Dr Hidayatulloh juga mengingatkan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu yang tidak menjalani proses akademik justru akan menimbulkan banyak pertanyaan dari publik. Ia menyebutkan bahwa tindakan seperti itu berpotensi menciderai dunia akademik dan merusak kredibilitas perguruan tinggi.
Ia mendukung penuh arahan Ketua Umum PP Muhammadiyah agar PTMA tidak latah meniru perguruan tinggi lain yang kerap memberikan gelar profesor kehormatan demi popularitas.
“Bagi orang yang tidak memahami dunia perguruan tinggi, bisa saja menganggap bahwa pemberian gelar itu bisa mengangkat nama kampus. Namun bagi orang yang mengerti, maka hal tersebut bisa jadi kontradiktif dan menganggap bahwa kampus tidak menjaga Marwah akademik,” kata dosen pasca sarjana Umsida itu.
Namun demikian, Dr Hidayatulloh membedakan antara gelar profesor kehormatan dengan gelar doktor kehormatan (honoris causa). Menurutnya, gelar doktor kehormatan dapat diberikan kepada individu dengan keahlian dan karya luar biasa yang berdampak nyata bagi masyarakat luas.
“Gelar doktor honoris causa berbeda dengan profesor kehormatan. Jika ada ilmuwan yang hanya menuntaskan pendidikan S2 namun karya-karyanya memberikan dampak signifikan, maka bisa saja kami berikan gelar doktor honoris causa selama inovasinya sesuai dengan prodi yang kita miliki,” ujarnya.
Untuk menjaga integritas akademik, Umsida juga menerapkan sejumlah strategi. Di antaranya adalah kepemimpinan yang memberi keteladanan, aturan yang jelas dalam mekanisme akademik dan non-akademik, serta penegakan sanksi atas pelanggaran kode etik. Selain itu, kampus juga memfasilitasi peningkatan kualifikasi dosen melalui berbagai program.
“Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah memiliki sistem yang tertata dengan baik. Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah secara rutin melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk memastikan setiap kebijakan, termasuk tidak memberikan gelar profesor kehormatan agar dapat dijalankan dengan baik di seluruh PTMA,” pungkasnya. (*)