KabarBaik.co— Nama DH alias Dwi Hartono, pengusaha muda yang dulu dipuji sebagai dermawan dan motivator pendidikan, kini menjelma menjadi simbol kejahatan berantai yang menjijikkan. Baru-baru ini terbongkar sebagai otak penculikan berujung pembunuhan Kepala Cabang BRI Mohamad Ilham Pradipta, belakangan ia juga terungkap ikut membobol rekening dormant BNI senilai Rp 204 miliar.
Riwayat kriminalnya sudah dimulai lebih dari satu dekade lalu. Pada tahun 2012, DH terlibat dalam sindikat pemalsuan ijazah dan nilai rapor. Sasarannya adalah calon mahasiswa yang ingin masuk sebuah universitas di Semarang. Kasus awal inilah yang kini disambungkan publik sebagai “lead” atau fondasi bagi pola kejahatan bersambungnya. Betapa pria berusia 40 tahun ini membangun kerajaan kriminal dari tipu muslihat sederhana hingga aksi berdarah.
Fondasi Kejahatan: Makelar Ijazah Palsu (2012)
Menurut catatan kepolisian, petualangan gelap DH dimulai pada 2012 ketika ia berperan sebagai makelar dalam jaringan pemalsuan dokumen pendidikan. Saat itu, Polrestabes Semarang menangkapnya karena memalsukan ijazah SMA dan memanipulasi nilai rapor bagi sejumlah calon mahasiswa lulusan IPS agar lolos tes masuk Fakultas Kedokteran Universitas di Semarang—jurusan yang seharusnya hanya untuk lulusan IPA.
Modusnya, DH memanfaatkan koneksi di bimbingan belajar (bimbel) miliknya untuk menawarkan “jasa spesial” seharga puluhan juta rupiah per orang. Lewat jaringan tersebut, ia memanipulasi data nilai agar calon mahasiswa terlihat seperti juara kelas IPA. Modus ini sederhana namun licik: DH bekerja sama dengan oknum orang dalam di panitia penerimaan mahasiswa.
Pengadilan Semarang memvonis DH hukuman 6 bulan penjara atas pasal pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP). Hukuman yang relatif ringan ini justru memberinya “pelajaran” berharga tentang cara menghindari jerat hukum.
Ironisnya, DH sendiri sempat terlibat kontroversi serupa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di mana status akademiknya sebagai mahasiswa S-2 dinonaktifkan setelah tersangkut pembunuhan Ilham Pradipta. Ada dugaan ijazah dan dokumen yang digunakan untuk masuk ke UGM itu juga palsu, meski kasus itu tak pernah sampai di meja hijau.
Transformasi dan Pembangunan Citra Palsu
Setelah keluar penjara pada tahun 2013, DH membangun citra baru sebagai pemilik bimbel dan perusahaan konsultasi keuangan, yang diduga kuat hanyalah kedok untuk merekrut jaringan kriminalnya. Untuk membangun kepercayaan (trust) dan personal branding, DH piawai menggandeng dan mengundang berbagai tokoh dan selebritas dalam acaranya—termasuk Via Vallen hingga Hotman Paris. Dalam unggahannya di Instagram, DH juga terlihat berfoto dengan ulama besar hingga menteri. Pada 2024, DH bahkan sempat mendaftar sebagai bakal calon bupati di Jawa Tengah, yang meski kandas, boleh jadi merupakan bagian dari drama citra dirinya sebagai sosok pengusaha muda dan dermawan.
Publik kini melihat pola berulang yang jelas: dari pemalsuan ijazah untuk akses pendidikan, ia naik level ke pemalsuan identitas pejabat untuk membobol bank, dan juga penculikan berujung pembunuhan demi akses rahasia perbankan. Kasus palsu ijazah yang melibatkan “joki masuk” dan pemalsuan rapor, disebut sebagai fondasi: DH belajar cara memanfaatkan sistem yang rentan—baik itu pendidikan maupun perbankan—lalu mengulangnya dengan skala yang jauh lebih besar.
Puncak Kejahatan: Bobol Bank dan Pembunuhan (2025)
Keterkaitan dengan kasus terkini makin jelas. Pada Juni 2025, DH dan rekannya, Candy alias Ken (C), menggunakan modus pemalsuan identitas sebagai Satgas Perampasan Aset untuk menipu karyawan BNI dan membobol Rp 204 miliar dari rekening dormant.
Tak berhenti di situ, pada Agustus 2025, DH dan komplotan menculik dan membunuh Mohamad Ilham Pradipta untuk mendapatkan akses rahasia BRI, dengan rencana tindak lanjut serupa di bank lain yang hampir terealisasi. Ini menunjukkan sebuah sindikat terorganisir dengan pola residivis.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helfi Assegaf dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/9), menyebutkan bahwa DH dan Ken adalah dua dari sembilan tersangka kasus pembobolan rekening dormant BNI. Modusnya, mereka memaksa Kepala Cabang Pembantu (KCP) Bank BNI di Jawa Barat berinisial AP untuk memberikan akses aplikasi core banking system. Ken bertugas memaksa AP dengan mengaku sebagai Satgas Perampasan Aset dari salah satu kementerian, sementara DH berperan memindahkan dana dari rekening dormant.
Kasus ini bermula dari Laporan Polisi Nomor: LP/B/311/VII/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI, tanggal 2 Juli 2025. Yang menarik, kasus penculikan dan pembunuhan Ilham Pradipta terjadi justru saat Bareskrim Mabes Polri tengah mendalami pembobolan rekening dormant BNI tersebut.
Sama dengan kasus di BRI, dalam perkara pembobolan Rp 204 miliar di BNI itu DH dkk juga melibatkan orang dalam bank. Yang mengejutkan, untuk kasus di BRI, dua prajurit TNI-AD dari pasukan elite Kopassus, yakni Serka Nasir dan Kopda Feri Herianto, juga menjadi bagian dari tersangka.
Sembilan tersangka kini meringkuk di tahanan, termasuk DH yang kemungkinan menghadapi ancaman hukuman mati atas Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Publik, yang dulu pernah mengikuti seminar motivasi DH, kini hanya bisa mengelus dada. Kasus ini menjadi pengingat pahit: Di balik topeng pengusaha sukses dan dermawan, bisa tersembunyi riwayat kejahatan yang tak pernah benar-benar berhenti. (*)