KabarBaik.co – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyaluran fasilitas Kredit BNI Wirausaha (BWU) oleh PT Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Jember melalui Koperasi Simpan Pinjam Mitra Usaha Mandiri Semboro (KSP MUMS). Ketiga tersangka, yakni SD selaku Ketua KSP MUMS, IAN sebagai Manajer KSP MUMS, dan MFH yang merupakan Kepala Cabang BNI Jember periode 2018–2023, disinyalir terlibat dalam praktik korupsi senilai lebih dari Rp 125 miliar.
Kepala Kejati Jatim, Mia Amiati, dalam konferensi pers yang digelar Rabu (9/10), menyatakan bahwa kasus ini terjadi pada periode 2021 hingga 2023. “Kami sudah melakukan serangkaian penyidikan, termasuk memeriksa 78 saksi, menyita dokumen, dan melakukan penggeledahan di beberapa lokasi terkait kasus ini,” ujar Mia.
Modus korupsi ini terungkap dari pengajuan kredit oleh KSP MUMS yang menggunakan identitas fiktif atas nama petani tebu. Namun, banyak dari mereka ternyata bukan petani tebu, bahkan tidak memiliki lahan yang dimaksud dalam kontrak kredit. “Faktanya, banyak pengajuan kredit yang tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan,” ungkap Mia.
Syarat utama untuk mendapatkan fasilitas Kredit BWU adalah bahwa pemohon harus merupakan petani tebu yang bermitra dengan Pabrik Gula Semboro. Selain itu, diperlukan Rencana Kerja Usaha (RKU) sebagai bukti pengelolaan lahan tebu. Namun, RKU yang diajukan ternyata palsu dan tidak dikeluarkan oleh pihak PG Semboro, melainkan oleh pengurus KSP MUMS.
Meski mengetahui adanya ketidaksesuaian ini, MFH selaku Kepala Cabang BNI Jember tetap menyetujui pencairan kredit. “Tersangka MFH tetap memberikan persetujuan meskipun mengetahui banyak pemohon kredit menggunakan identitas palsu,” jelas Mia. Akibatnya, negara mengalami kerugian finansial hingga Rp 125,9 miliar akibat kredit macet tersebut.
Dalam proses pencairan kredit, identitas para debitur dipalsukan dan digunakan oleh pengurus KSP MUMS. Bahkan, banyak dari debitur yang hanya dipinjam KTP-nya tanpa mengetahui dana kredit yang cair. Para debitur “pinjam nama” ini hanya diberikan uang imbalan antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.
Modus lain yang digunakan dalam kasus ini adalah praktik “kredit topengan” dan “kredit tempilan”. Kredit topengan adalah kredit yang diajukan menggunakan nama orang lain, sementara uangnya dikuasai oleh pihak lain yang bukan debitur. Sementara itu, kredit tempilan melibatkan penggunaan sebagian dana oleh debitur, tetapi sebagian besar dikelola oleh pihak lain.
Total dana BWU yang dikelola oleh para tersangka, yakni SD sebesar Rp 25 miliar, IAN sebesar Rp 46 miliar, dan DJA sebesar Rp 41 miliar. “Total outstanding kredit macet hingga akhir Agustus 2024 mencapai Rp 125,9 miliar,” tambah Mia.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Kejati Jatim menetapkan SD, IAN, dan MFH sebagai tersangka karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Mia juga menegaskan bahwa ketiga tersangka telah ditahan untuk 20 hari ke depan, terhitung mulai 9 Oktober hingga 28 Oktober 2024. Mereka akan ditahan di Rutan Kelas I Surabaya untuk memudahkan proses penyidikan lebih lanjut.
“Penahanan dilakukan karena ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi perbuatannya,” tambah Mia.
Pihak Kejati Jatim juga tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka lain dalam kasus ini. “Penyelidikan masih terus berlanjut, dan bisa jadi akan ada nama-nama baru yang muncul,” tutupnya. (*)