KabarBaik.co – Provinsi Jawa Timur berhasil mencatat penurunan angka kemiskinan signifikan pada Maret 2025. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Jatim turun dari 9,79 persen (Maret 2024) menjadi 9,50 persen (Maret 2025). Artinya, sebanyak 17.940 warga berhasil terentaskan dari kemiskinan dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyebut capaian ini merupakan buah dari kerja keras kolektif lintas sektor, mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, serta dukungan dari dunia usaha, perguruan tinggi, media, dan komunitas.
“Penurunan angka kemiskinan ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah cerminan kepedulian dan kerja bersama untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata di seluruh pelosok Jawa Timur,” ujar Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (28/7).
Khofifah mengungkapkan, Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan penurunan jumlah penduduk miskin tertinggi kedua di Pulau Jawa, setelah Jawa Tengah. Secara nasional, Jatim juga menyumbang 8,96 persen terhadap penurunan kemiskinan periode September 2024–Maret 2025, menempatkannya sebagai kontributor keempat terbesar di Indonesia.
Dari sisi wilayah, penurunan kemiskinan paling tinggi terjadi di pedesaan, yakni sebesar 0,44 persen poin atau setara 105.290 jiwa. Sementara di kawasan perkotaan, penurunan mencapai 0,12 persen poin atau 1.510 jiwa.
Selain penurunan angka kemiskinan, ketimpangan antara desa dan kota juga menunjukkan perbaikan. Disparitas kemiskinan kini menyempit menjadi 5,86 persen, dibandingkan 7,59 persen pada Maret 2019.
Indeks ketimpangan (Gini Ratio) Jawa Timur pun membaik, turun dari 0,373 pada September 2024 menjadi 0,369 pada Maret 2025. Penurunan terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan, dan Jawa Timur kini berada dalam kategori ketimpangan sedang.
Khofifah juga menyoroti indikator kedalaman (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) yang turut membaik. Indeks P1 menurun dari 1,480 menjadi 1,414, sedangkan P2 dari 0,310 menjadi 0,294.
“Data ini menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin kian mendekati garis kemiskinan. Ketimpangan di antara kelompok miskin juga makin mengecil. Ini menandakan bahwa program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat berjalan tepat sasaran,” jelasnya.
BPS juga mencatat sejumlah komoditas yang memengaruhi garis kemiskinan, baik makanan maupun non-makanan. Untuk makanan, yang paling berpengaruh adalah beras, rokok, dan telur ayam ras. Sementara itu, komoditas non-makanan yang berkontribusi besar antara lain biaya perumahan, bahan bakar (bensin), dan listrik.
“Jatim adalah daerah penghasil tembakau terbesar. Banyak petani dari kelompok pendapatan rendah (Desil 1-4) yang masih menjadikan rokok sebagai kebutuhan pokok sehari-hari. Ini kebiasaan yang sulit dihilangkan, sehingga nilainya masuk tinggi dalam garis kemiskinan,” tutur Khofifah.
Dari sisi anggaran, program pengentasan kemiskinan juga mendapat sokongan dari pusat dan daerah. Melalui Kementerian Sosial, Pemerintah Pusat telah menyalurkan bantuan sosial senilai Rp 12,135 triliun kepada 3,33 juta keluarga penerima manfaat (KPM) di Jatim untuk tahun 2025. Penyalurannya dilakukan dalam empat tahap, dua di antaranya telah disalurkan.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jatim melalui Dinas Sosial juga mengalokasikan bantuan sosial senilai Rp 180,42 miliar untuk memperkuat dan melengkapi bansos dari pusat.
Atas capaian ini, Pemprov Jatim kembali mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Pusat berupa Dana Insentif Fiskal atas kinerja pengentasan kemiskinan ekstrem. Pada 2023, Jatim menerima dana Rp 6,21 miliar, dan pada 2024 naik menjadi Rp 6,24 miliar.
“Saya mengajak seluruh elemen masyarakat Jawa Timur untuk terus bersinergi mempercepat penurunan kemiskinan. Pemerintah akan terus mendorong program yang efektif dan berkelanjutan, sementara dari masyarakat kita harapkan semangat gotong royong terus dilestarikan,” pungkas Khofifah.