KabarBaik.co- Di sebuah desa sunyi di lereng Menoreh, ada satu benda rumah tangga yang tak pernah kosong tapi juga tak pernah digunakan: kendi tanah liat tua yang selalu diletakkan di sudut ruang tamu. Warga menyebutnya Kendi Watu Lingsir karena bagian bawah kendi ini konon menyentuh batu tua yang tak boleh dipindah.
Kendinya biasa saja, tak berhiaskan apapun. Tapi setiap tengah malam, khususnya di malam-malam ganjil bulan Jawa, kendi itu selalu berembun meski cuaca kering, meski air di dalamnya tak berkurang sedikit pun.
Air yang Tidak Boleh Diminum
Menurut warga, kendi itu dulunya milik seorang pertapa desa yang dikenal jarang bicara, namun selalu menyediakan kendi air bagi siapa pun yang datang. Orang-orang bilang, kendi itu hanya memancarkan air jika yang datang membawa kesedihan mendalam.
Setelah pertapa itu wafat di depan kendinya dalam posisi bersila, kendi itu tidak pernah lagi dipakai minum. Tapi anehnya, air di dalamnya tidak pernah habis meski tak pernah ditambah. Warga hanya menyentuhnya jika ada anggota keluarga yang meninggal.
Tanda dari Dunia Sebelah
Konon, jika kendi tiba-tiba bergetar tanpa sebab, itu pertanda ada roh penasaran yang sedang mencari rumah. Maka warga akan mengikat tali ijuk di leher kendi, dan meletakkan segenggam tanah kuburan di sebelahnya sebagai penawar.
Pernah ada anak kecil yang iseng menyentuh airnya, lalu beberapa malam setelahnya ia berbicara sendiri dengan bahasa yang tak dikenal. Dia bilang haus, kata ibunya lirih. Sejak saat itu, kendi tak pernah lagi disentuh tanpa doa.
Jika Kendi Pecah
Warga sangat menjaga agar kendi ini tidak pecah. Karena menurut kepercayaan lama, jika kendi Watu Lingsir pecah di dalam rumah, maka rumah itu akan ditinggali oleh bayangan dari pemilik terakhir yang menyentuh airnya.
Beberapa kejadian aneh tercatat: kendi yang jatuh sendiri tepat pukul 3 pagi, atau kendi yang airnya tiba-tiba meluap seperti mendidih padahal tidak panas. Saat hal ini terjadi, warga dilarang membuka pintu sebelum ayam jantan pertama berkokok.
Dibiarkan Penuh, Dijaga Sunyi
Kini, kendi-kendi semacam ini masih ada di beberapa rumah lama. Dibiarkan dalam diam, tidak dipindah, tidak dikuras. Warga hanya membersihkan bagian luarnya setiap malam Jumat Legi, dengan air bunga dan doa pelan.
Sebab kendi ini bukan sekadar tempat air tapi tempat tumpahnya rindu, yang tidak sempat pulang, yang tidak sempat berkata selamat tinggal. Dan siapa tahu, setiap embun di permukaan air itu bukan berasal dari cuaca, tapi dari air mata mereka yang belum selesai berpamitan.