OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
“Program yang mestinya menyehatkan, justru membuat anak-anak terkapar di rumah sakit.”
Pernyataan tersebut, sayangnya, bukan hiperbola. Ribuan siswa-siswi di berbagai daerah mengalami keracunan setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih menunggu jatah makanan gratis, tidak sedikit orang tua kini lebih khawatir. Di beberapa sekolah, makanan gratis hanya disentuh sebentar sebelum diberikan ke teman yang masih berani memakannya. Atau bahkan sama sekali tidak menyentuhnya.
Fenomena ini menjadi sorotan nasional maupun internasional. AP News (30 September 2025) melaporkan bahwa lebih dari 5.000 siswa terdampak keracunan sejak program MBG digulirkan awal tahun. Angka itu kemudian diperbarui oleh Reuters (1 Oktober 2025) menjadi lebih dari 9.000 anak dari 103 insiden di seluruh Indonesia. Bahkan, The Jakarta Post (25 September 2025) menulis bahwa lebih dari 1.000 siswa di Jawa Barat jatuh sakit hanya dalam satu kasus keracunan massal. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa masalah bukan sekadar sporadis, melainkan sistemik.
Di Bogor, Kompas (2025) melaporkan bahwa 171 siswa mengalami muntah dan diare setelah menyantap menu MBG, sebagian bahkan harus dirawat di rumah sakit. Padahal, awal tahun ini, Kompas juga menyoroti peluncuran MBG serentak di 196 titik di 26 provinsi. Laporan dokumenter “Jalan Terjal Makan Bergizi Gratis” menekankan kendala infrastruktur, distribusi, dan sanitasi sebagai masalah mendasar.
Masalahnya bukan sekadar teknis dapur. Menurut laporan Times Indonesia (19 September 2025), Sri Sultan Hamengkubuwono X menilai keracunan terjadi karena makanan dimasak dini hari, kemudian disimpan berjam-jam sebelum disantap, memberi ruang bagi pertumbuhan bakteri. Dialeksis (2025) bahkan menemukan kasus sekolah yang menutup-nutupi insiden agar tidak viral. Di Sumbawa Barat, belatung ditemukan dalam menu MBG. Kondisi ini menunjukkan kegagalan sistemik: lemahnya pengawasan, rapuhnya akuntabilitas, dan hilangnya keterbukaan informasi.
Dampaknya bukan hanya kesehatan. World Health Organization (2023) mencatat keracunan makanan menyebabkan kerugian ekonomi global hingga 95 miliar dolar AS per tahun, akibat produktivitas hilang dan biaya perawatan meningkat. Di Indonesia, ratusan anak harus dirawat, orang tua meninggalkan pekerjaan, sekolah terganggu, dan pemerintah mengeluarkan biaya tambahan untuk penanganan. Jika dibiarkan, program MBG bisa berubah dari investasi gizi menjadi beban ekonomi.
Dalam ilmu kebijakan publik, keterbukaan dan akuntabilitas adalah fondasi tata kelola. Teori akuntabilitas publik (Bovens, 2007) menekankan bahwa setiap program yang menggunakan dana negara harus dapat dipertanggungjawabkan. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan dalam Transparency in Government (1999) bahwa transparency is the key to trust. Tanpa keterbukaan, masyarakat curiga; tanpa akuntabilitas, dana tersedot tanpa hasil. Kepercayaan publik adalah kunci, dan kini sedang rapuh.
Jika orang tua tidak percaya makanan aman, mereka menolak MBG. Jika publik curiga anggaran tidak bersih, program sebesar Rp 420 triliun dalam lima tahun (Reuters, 22 September 2025) akan selalu dipandang penuh kepentingan. Tanpa kepercayaan, program yang seharusnya meningkatkan gizi anak justru menimbulkan trauma.
Negara lain membuktikan bahwa keberhasilan program makan sekolah bergantung pada transparansi. Finlandia telah puluhan tahun menjalankan makan siang gratis bagi semua siswa. Kuusipalo & Manninen (2023) menunjukkan menu disusun ahli gizi, dapur sekolah diaudit, dan laporan gizi dipublikasikan. Orang tua memberi masukan dalam forum sekolah, dan semua laporan anggaran terbuka.
Di Cina, gerakan Free Lunch serupa. SOFII Foundation (2013) mencatat laporan pengeluaran dipublikasikan daring, foto menu harian dapat diakses publik, dan media lokal diberi ruang melakukan inspeksi mendadak. Transparansi radikal ini memperkuat dukungan masyarakat.
Jepang memiliki tradisi Kyushoku sejak 1954. MEXT (2022) melaporkan menu disiapkan oleh ahli gizi, siswa dilibatkan dalam distribusi, dan ada pengawasan harian guru. Di Inggris, Ofsted rutin menilai kualitas layanan makan sekolah dan hasilnya diumumkan secara terbuka (UK Department for Education, 2023). Transparansi bukan pilihan, melainkan mekanisme wajib untuk keselamatan siswa.
Global Child Nutrition Foundation (2024) menegaskan pola ini: negara yang sukses membuka data penerima manfaat, biaya per porsi, hingga hasil audit independen. Bahkan ada sensor suhu rantai distribusi dan aplikasi aduan bagi orang tua. Transparansi bukan prosedur administratif, tetapi inti keberhasilan.
Dari perspektif hukum, MBG terkait erat dengan hak anak. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 menjamin hak anak atas hidup, tumbuh, dan perlindungan dari kekerasan. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mewajibkan negara memastikan pemenuhan gizi anak. Indonesia juga meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB (CRC). Program yang membahayakan keselamatan anak bisa menjadi potensi pelanggaran hukum. Keterbukaan informasi bukan sekadar tata kelola, tetapi kewajiban hukum.
Indonesia seharusnya belajar dari praktik baik tersebut. Transparansi berarti orang tua dapat mengakses menu mingguan, mengetahui nilai gizi, dan melihat tindak lanjut insiden keracunan. Vendor yang lalai diumumkan dan dihukum tegas. Pemerintah harus mau berdialog, menerima kritik, dan koreksi.
Pada akhirnya, ini soal keselamatan generasi muda. Abraham Lincoln berkata, ”The people, when rightly and fully trusted, will return the trust.” Jika pemerintah berani mempercayai rakyat melalui keterbukaan, rakyat akan mengembalikan kepercayaan dengan dukungan. Dukungan itulah yang menjadikan MBG bukan sekadar proyek politik, tetapi gerakan bangsa.
Program yang dimaksudkan untuk memberi gizi tidak boleh menimbulkan risiko. Jangan tunggu korban jiwa baru bertindak. Mulailah dengan keterbukaan informasi agar MBG dapat diselamatkan dan masa depan anak-anak Indonesia terjaga. (*)
—-
*) M. SHOLAHUDDIN, pegiat literasi Jawa Timur