KabarBaik.co- Kondisi ekonomi dan finansial di Indonesia, saat ini tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, sejumlah kalangan menyebut beberapa indikator menunjukkan ada benih seperti krisis 1998 silam. Mata uang Rupiah yang tak kunjung membaik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk, kapitalisasi pasar saham terjun bebas, serentetan PHK masal, krisis kepercayaan publik.
Ambruknya pasar saham Indonesia, misalnya. Mengutip data resmi Bursa Efek Indonesia (BEI), kapitalisasi pasar pada 3 Februari 2025 masih tercatat Rp 12.159 triliun. Namun, pada akhir pekan ini amblas menjadi sebesar Rp 10.880 triliun. Kemudian, IHSG pada 3 Februari 2025 lalu, masih berada di level 7.030. Pada akhir Februari anjlok menjadi 6.250.
Angka tersebut menjadikan level terendah IHSG pascapandemi Covid-19 mereda. Padahal, sebelumnya IHSG sudah terkoreksi sebesar 4,10 persen dalam tiga tahun terakhir. Pegerakan IHSG itu sejalan dengan ambruknya nilai tukar Rupiah. Pada Jumat (28/2), Rupiah spot ditutup di level Rp 16.596 per Dolar Amerika Serikat (AS) atau anjlok 0,86 persen dibanding hari sebelumnya.
Kurs Rupiah tersebut juga mencatatkan pada level terburuk sejak awal Juni 1998 silam. Sebagai catatan, pada 17 Juni 1998, Rupiah ditutup di level Rp 16.650 per Dolar AS. Beberapa indikator itu bisa menjadi alarm bahwa ada masalah dengan ekonomi dan ketidakpastian pasar di Indonesia.
Apakah kondisi ini juga dipengaruhi makin turunnya kepercayaan publik atas terjadinya serangkaian peristiwa dalam beberapa bulan terakhir? Stigma kabinet gemuk, rekam rejak dan perilaku sejumlah anggota kabinet, kejadian-kejadian paradoks atas kebijakan efisiensi, Danantara, hingga megakorupsi dengan kerugian ratusan triliun seperti PT Timah dan di pusaran PT Pertamina?
Yang jelas, secara umum dan teoritis, krisis kepercayaan memang dapat berpengaruh signifikan terhadap IHSG hingga potensi krisis ekonomi. Mengapa? Pertama, dampak psikologis pada investor. Kepercayaan publik yang rendah menciptakan ketidakpastian. Investor menjadi ragu untuk menanamkan modal karena khawatir akan kebijakan pemerintah yang tidak stabil atau tidak transparan. Sentimen negatif ini dapat memicu aksi jual saham, yang pada akhirnya menekan IHSG.
Kedua, pengaruh pada kebijakan ekonomi. Pemerintah yang mengalami krisis kepercayaan sulit untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang efektif. Ketidakstabilan kebijakan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, yang berimbas negatif pada kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham. Contohnya, jika investor ragu terhadap kebijakan fiskal pemerintah, maka mereka akan ragu untuk berinvestasi.
Ketiga, dampak pada investasi asing. Investor asing sangat memperhatikan stabilitas politik dan ekonomi suatu negara. Rendahnya kepercayaan publik dapat membuat investor asing menarik modal mereka dari pasar saham Indonesia, yang akan menekan IHSG. Investor asing cenderung sangat berhati hati dalam menanamkan modalnya, dan kepercayaan publik yang rendah, adalah sinyal negatif bagi mereka.
Keempat, hubungan dengan stabilitas pasar. Kepercayaan publik yang rendah dapat memicu volatilitas pasar. Investor menjadi lebih reaktif terhadap berita dan rumor, yang dapat menyebabkan fluktuasi harga saham yang tajam. Volatilitas yang tinggi membuat pasar saham menjadi kurang menarik bagi investor jangka panjang.
Akankah tren “merah” itu berlanjut? Semoga tidak. (*)