Mabrur: Lebih dari Sekadar Gelar

oleh -454 Dilihat
HUD BARU OKE

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

HARI merangkak naik di ufuk timur. Memecah kelam dengan bias keemasan. Di lembah Mina yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan Ibrahim, kini riuh rendah suara jemaah haji mulai mereda. Sebuah episode agung dalam lakon ibadah haji akan segera mencapai tirai penutupnya. Meninggalkan jejak-jejak hikmah yang takkan lekang oleh waktu.

Hari ini, 12 Dzulhijah 1446 H, sebagian besar jemaah haji akan mengakhiri mabit mereka di Mina. Menggenapi lemparan jumrah, kemudian memilih jalan Nafar Awal. Mereka adalah jiwa-jiwa yang telah menuntaskan tugas, hati yang sarat pengalaman, dan raga yang merindukan pelukan tanah air.

Jemaah yang memilih nafar awal, bagai anak panah yang melesat dari busur. Beranjak dari Mina. Meninggalkan bebatuan dan tenda-tenda putih. Saksi bisu perjuangan spiritual mereka. Bus-bus yang berderet, menanti dengan sabar, akan menjadi perahu-perahu pengantar kembali ke Makkah. Ke pangkuan hotel yang nyaman, sebuah persinggahan sebelum kembali bersua dengan raga.

Dalam kemegahan Baitullah, mereka akan menuntaskan dua rukun terakhir: Tawaf Ifadhah dan Sa’i, sebelum akhirnya memangkas helai-helai rambut. Simbol tahalul kedua, yang menandai purna sudah rukun haji.

Bagi jemaah haji yang memilih nafar tsani, perjalanan masih menyisakan jeda. Satu malam penuh perenungan, hingga esok, 13 Dzulhijah, barulah beranjak dari Mina. Mereka adalah jiwa-jiwa yang mungkin ingin memanjangkan napas ibadah. Meresapi setiap detik kebersamaan dengan jejak para nabi, atau sekadar membiarkan hikmah meresap lebih dalam, bak embun pagi yang membasahi dedaunan.

Perasaan “plong” melingkupi jiwa para jemaah haji yang telah menyelesaikan seluruh rukun. Rasa itu bukanlah sekadar lega fisik setelah serangkaian ritual yang menguras tenaga. Ia adalah kelapangan hati yang membuncah. Layaknya waduk yang baru saja dialiri air setelah kemarau panjang. Sebuah pembebasan dari beban spiritual, dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial, dan dari keraguan-raguan yang mungkin sempat mengemuka.

Puncak haji, dimulai dari wukuf di Arafah, sebuah panggung agung perenungan diri dan pengakuan dosa. Kemudian berlanjut dengan mabit di Muzdalifah, jeda singkat dalam kegelapan yang menenangkan. Hingga akhirnya lempar jumrah di Mina, simbolisasi perlawanan terhadap bisikan syaitan dan godaan duniawi. Semuanya bermuara pada satu titik. Pemurnian jiwa.

Di Padang Arafah, jemaah haji seperti bibit yang ditanam di tanah suci. Menyerap nutrisi spiritual dari doa dan zikir, membersihkan diri dari karat-karat dosa. Muzdalifah adalah malam perenungan di bawah langit berbintang. Di mana setiap jiwa seolah menemukan kedamaian dalam keheningan, sebuah persiapan mental untuk pertempuran simbolis di Mina. Dan, di Mina, lempar jumrah bukan hanya sekadar melempar batu. Ia adalah pelemparan ego, pelemparan keserakahan, dan pelemparan segala bentuk keterikatan duniawi. Penghalang jiwa untuk terbang bebas menuju Sang Pencipta. Setiap kerikil yang melayang adalah ikrar untuk meninggalkan masa lalu, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, dan lebih berserah diri.

Ketika semua itu telah tuntas, ketika rukun-rukun haji telah dipenuhi dengan segenap jiwa raga, maka yang tersisa adalah kekosongan yang bermakna. Kekosongan yang diisi oleh cahaya ilahi. Oleh kebahagiaan yang hakiki. Dan, oleh rasa syukur yang tak terhingga. Ibarat burung terlepas dari sangkar, jiwa-jiwa itu kini merasa bebas, ringan, dan siap untuk terbang mengarungi cakrawala kehidupan. Bersama sayap-sayap baru. Iman yang lebih kuat.

Setelah serangkaian puncak ibadah yang menguras fisik dan mental, yang tersisa adalah gema rindu. Gema panggilan untuk kembali. Bau tanah air tercium kuat. Demikian rasa yang sarat makna. Ia bukanlah sekadar aroma fisik. Namun, esensi jiwa, panggilan kembali ke akar, ke tempat di mana cinta kali pertama bersemi. Di mana keluarga menanti dengan sabar, dan di mana setiap sudut menyimpan kenangan. Aroma tanah air adalah representasi kenyamanan, keamanan, dan kasih sayang yang tak lekang oleh waktu.

Rasa ingin segera kembali adalah isyarat fitrah. Sebuah naluri dasar manusia untuk mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk dunia. Jemaah haji, setelah menjadi tamu Allah di tanah haram, kini merindukan peran mereka sebagai “tamu” bagi keluarga masing-masing. Bagi sahabat-sahabat, dan bagi komunitas-komunitasnya. Bayang-bayang wajah anak dan istri, bukan hanya gambaran visual, melainkan proyeksi masa depan. Sebuah janji untuk membawa pulang bukan hanya oleh-oleh fisik, melainkan oleh-oleh spiritual. Yakni, hati yang lebih bersih, jiwa yang lebih tenang, dan iman yang lebih kokoh.

Keindahan perjalanan haji tidak hanya terletak pada ritual-ritualnya. Tapi juga pada transformasi yang terjadi di dalam diri. Sebelum haji, mungkin banyak yang terperangkap dalam rutinitas. Terikat pada dunia material. Terlena oleh gemerlapnya kesenangan sesaat. Namun, seusai melewati prosesi haji, pandangan hidup berubah. Prioritas bergeser. Nilai-nilai spiritual menjadi lebih menonjol. Rumah dan keluarga bukan lagi sekadar tempat tinggal dan unit sosial, melainkan madrasah pertama. Tempat di mana nilai-nilai kebaikan ditanamkan dan cinta disemaikan.

Setelah purna ibadah, saatnya untuk pelesir atau belanja-belanja. Sebuah bentuk perayaan dan ungkapan syukur atas nikmat yang telah diberikan. Pelesir bukanlah sekadar jalan-jalan tanpa tujuan. Ia adalah perjalanan jiwa yang mencari keindahan ciptaan Allah di muka bumi ini. Mengunjungi tempat-tempat bersejarah, mengagumi arsitektur yang megah, atau sekadar menikmati secangkir kopi di sudut Kota Makkah yang ramai. Semuanya adalah bentuk refleksi keagungan Tuhan dan penghargaan atas kehidupan.

Belanja-belanja, di sisi lain, bukanlah sekadar memenuhi hasrat konsumtif. Bagi sebagian besar jemaah, oleh-oleh yang dibawa pulang adalah simbol cinta. Pengingat akan perjalanan spiritual yang telah mereka lalui. Setiap tasbih, setiap sajadah, setiap botol parfum, dan setiap butir kurma adalah cenderamata dari hati, yang akan dibagikan kepada orang-orang terkasih. Seolah ingin berbagi berkah dari tanah suci. Ini adalah wujud kedermawanan, kebersyukuran, dan keinginan untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Prosesi pelesir dan belanja ini juga menjadi semacam katarsis. Pelepasan penat setelah menjalani serangkaian puncak haji yang menuntut konsentrasi dan fisik yang prima. Tubuh dan pikiran perlu istirahat, perlu disegarkan kembali, agar dapat kembali beraktivitas dengan semangat yang baru. Ini adalah bagian dari filosofi keseimbangan dalam Islam, di mana ibadah tidak melulu tentang menahan diri dan berjuang, melainkan juga tentang menikmati anugerah Tuhan dan merayakan kehidupan dengan cara yang halal.

Maka, ketika bus-bus itu bergerak dari Mina menuju Makkah, lalu nanti menuju bandara, yang kembali bukanlah orang yang sama dengan yang berangkat. Mereka adalah jiwa-jiwa yang telah ditempa, hati yang telah dicuci bersih, dan raga yang telah mengalami metamorfosis spiritual. Mereka adalah haji yang mabrur. Yang membawa pulang bukan hanya gelar, melainkan hati baru. Hati yang lebih dekat kepada Allah. Hati yang lebih peka terhadap sesama, dan hati yang lebih siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Semoga setiap jemaah haji, termasuk yang telah menuntaskan perjalanan suci ini, diberikan kemabruran haji. Senantiasa berada dalam lindungan dan rahmat-Nya. Perjalanan haji adalah cermin kehidupan. Mengajarkan tentang kefanaan, kebersamaan, dan arti sejati dari pengabdian. Dan ketika “bau tanah air” kembali tercium, itu adalah pertanda bahwa saatnya untuk mengaplikasikan setiap pelajaran, setiap hikmah, dan setiap berkah yang telah didapatkan di tanah suci, dalam kehidupan sehari-hari. Amin. (*)

—-

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.