Marselino Ferdinan dan Negara Lucu

oleh -85 Dilihat
MARSELINO FERDINAN

DALAM sepak bola modern, bakat bukan lagi tiket utama. Kemampuan teknis bisa membawa seorang pemain menembus panggung Eropa. Tapi, ingat! Hanya sikap, integritas, dan kedewasaan yang membuatnya bertahan lama. Baik di klub maupun di tim nasional.

Timnas Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026, round keempat. Laga tandang melawan Arab Saudi dan Irak, di Jeddah, 8-14 Oktober mendatang.

Di luar persiapan menuju laga hidup-mati tersebut, publik sedikit riuh dengan absennya nama Marselino Ferdinan dari daftar pemain. Talenta muda yang kini dipinjamkan ke AS Trencín, setelah sempat singgah di Oxford United, harus menepi. Pertanyaannya: apakah ini murni soal menit bermain, atau ada faktor lebih dalam?

Tidak ada yang meragukan kemampuan Marselino. Ia pun berjasa, memiliki andil besar dalam beberapa kali laga krusial. Misalnya, saat melawan Arab Saudi di babak ketiga dulu. Dia memasukkan dua gol hingga Timnas Indonesia masih bisa terbang jauh ini. Visi bermain tajam, kontrol bola halus, hingga tendangan jarak jauh menjadikannya salah satu aset terbaik Indonesia.

Tapi, Anda tahu, sepak bola adalah permainan kolektif. Karena itu, menuntut disiplin, loyalitas, dan kerendahan hati. Skill bisa mencuri sorotan, tetapi sikaplah yang menjaga ruang ganti tetap utuh.

Secara teknis, fakta menunjukkan bahwa Marselino hanya mencatatkan menit terbatas selama bermain di Eropa. Cuma 139 menit di KMSK Deinze dan 16 menit di Oxford United. Dari sini saja, sebetulnya sudah cukup alasan bagi pelatih untuk skeptis.

Selain persoalan teknis, boleh jadi juga karena ada persoalan non-teknis. Bukankah publik masih ingat dengan unggahan  “Negara Lucu” yang pernah dilontarkan sebagai respons terhadap kritik warganet? Contoh seperti inilah yang menampakkan bahwa ada jurang antara bakat besar dan kedewasaan mental.

Patrick Kluivert bukan pelatih sembarangan. Dengan filosofi dan karakter Eropanya, tentu menekankan kolektivitas dan disiplin tinggi. Bahkan, sangat mungkin begitu pula pelatih lain. Mereka tentu paham bagaimana risiko menghadirkan pemain yang mungkin memiliki skill di atas rata-rata, tetapi ada masalah dengan sikap seperti terlalu egosentris dan sejenisnya. Sikap ini bukan hanya soal Marselino saja, melainkan secara umum. Satu sikap salah bisa merusak harmoni tim. Dalam pandangan semacam itu, tidak heran bila faktor non-teknis turut memengaruhi keputusan pemanggilan.

Bagi Marselino, absennya kali ini bukan vonis akhir. Justru, mesti menjadi ruang refleksi. Mungkin ia bisa kembali ke akarnya, Persebaya Surabaya. Di sini bisa resetting. Menata ulang mentalitas, mengasah ketahanan diri, dan belajar menjawab suara-suara minor dengan performa. Bukan dengan emosi.

Catatan ini bukan hanya soal dia, tetapi juga pelajaran bagi semua pemain muda. Bahwa jalan menuju level tertinggi tidak ditentukan oleh skill semata, melainkan oleh karakter yang siap mengabdi untuk tim dan bangsa. Diakui atau tidak, talenta-talenta muda Garuda tidak sedikit yang bermasalah dengan attitude, manner, dan integritas itu.

Pesannya sederhana. Bahwa, sepak bola tidak hanya membutuhkan kaki yang terampil, tetapi juga kepala yang jernih dan hati yang kuat. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.