Oleh: Kuntoro Boga Andri
Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian
Dalam dinamika ekonomi global yang kian menantang, sektor perkebunan Indonesia justru menampakkan wajah optimistis. Tahun 2024 menandai titik balik penting, ketika sektor ini kembali mencatat kontribusi terbesar dalam ekspor pertanian nasional, mencapai Rp735,91 triliun atau 41,57 persen dari total PDB pertanian. Komoditas unggulan seperti kelapa sawit, kopi, kakao, kelapa, dan rempah-rempah bukan hanya menjadi penyumbang devisa, tetapi juga penggerak roda ekonomi desa dan tumpuan hidup bagi lebih dari 17 juta petani pekebun.
Namun, di balik angka-angka impresif tersebut, terhampar tantangan kompleks yang menuntut respons strategis. Perubahan iklim ekstrem, tekanan regulasi internasional, fluktuasi harga komoditas, serta stagnasi produktivitas menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa ditunda. Di tengah ancaman tersebut, justru terbentang peluang besar: lonjakan permintaan global atas komoditas tropis, kelangkaan pasokan dari negara pesaing, dan tren bioekonomi yang membuka jalan baru bagi hilirisasi berbasis keberlanjutan.
Indonesia sedang berdiri di persimpangan. Kita bisa terjebak dalam pusaran ekspor bahan mentah yang rapuh terhadap gejolak global, atau bertransformasi menjadi raksasa industri berbasis perkebunan dengan nilai tambah tinggi. Pilihan kedua inilah yang harus menjadi arah perjuangan kita ke depan.
Hilirisasi dan Teknologi Kunci Daya Saing
Kata kunci transformasi sektor perkebunan Indonesia adalah hilirisasi. Tidak cukup hanya menjadi eksportir CPO, kopi mentah, atau biji kakao, kita harus menjadi produsen biodiesel, kopi spesialti, cokelat artisan, minyak atsiri, hingga produk farmasi dari tanaman rempah dan biofarmaka. Hilirisasi bukan hanya meningkatkan nilai ekonomi, tapi juga menciptakan lapangan kerja, memperkuat industri lokal, dan menjadikan Indonesia lebih resilien terhadap tekanan eksternal.
Langkah pemerintah mendorong biodiesel B35 hingga B40 adalah contoh konkret bagaimana kelapa sawit bisa menjadi solusi energi nasional. Begitu pula dengan arang aktif dari tempurung kelapa, VCO untuk industri kecantikan, atau kakao yang diolah menjadi produk cokelat berorientasi ekspor. Potensi pasar sangat besar, terutama dengan meningkatnya permintaan global akan produk alami, organik, dan berkelanjutan.
Namun hilirisasi tidak bisa berjalan tanpa teknologi. Modernisasi perkebunan melalui digitalisasi, mekanisasi, dan bioteknologi adalah syarat mutlak. Dari penggunaan drone untuk pemetaan lahan, sensor kelembapan tanah, aplikasi pertanian presisi, hingga pengembangan varietas tahan iklim dan hama, seluruh instrumen ini harus menjadi bagian dari keseharian petani dan pelaku usaha.
Investasi riset dan pengembangan (R&D) mesti diprioritaskan, tidak hanya di laboratorium, tapi juga dalam bentuk perakitan teknologi di lapangan yang sesuai dengan agroekologi dan kultur lokal. Kita tidak bisa hanya meniru model negara maju, tapi harus menciptakan inovasi sendiri yang kontekstual dengan Indonesia.
Koperasi sebagai Pilar Kemandirian
Transformasi sektor perkebunan tidak akan berhasil jika meninggalkan petani kecil yang selama ini menjadi tulang punggung produksi. Justru merekalah yang harus menjadi aktor utama, bukan sekadar pemasok bahan mentah. Di sinilah pentingnya peran koperasi modern berbasis kemitraan.
Koperasi terbukti mampu menjadi jembatan antara petani dengan pasar, teknologi, dan lembaga keuangan. Ketika dikelola profesional, koperasi bisa meningkatkan produktivitas, memperluas akses pasar, hingga menjadi unit usaha multibisnis yang tahan terhadap fluktuasi harga. Contoh sukses seperti KUD Dwi Tunggal di Sumatera Selatan atau KUD Tani Subur di Kalimantan Tengah memperlihatkan bagaimana integrasi sawit-sapi, manajemen keuangan, dan pengolahan produk bisa memberikan pendapatan stabil hingga Rp59 juta per tahun bagi anggotanya.
Pemerintah perlu memperkuat model koperasi berbasis kemitraan, termasuk dengan memberikan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus koperasi, insentif fiskal, dan pelatihan manajemen usaha. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan kebun, rumah produksi, hingga jaringan internet juga menjadi syarat untuk mendorong koperasi sebagai pusat ekonomi desa berbasis perkebunan.
Membangun Ekosistem Bioekonomi Nasional
Tahun 2025 diproyeksikan menjadi tahun kelangkaan pasokan komoditas perkebunan dunia. Produksi kakao di Afrika Barat anjlok hingga 14 persen, sementara permintaan kopi dan minyak sawit meningkat tajam seiring pemulihan ekonomi global dan pertumbuhan sektor energi nabati. Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum ini dengan meningkatkan volume ekspor sekaligus memperluas diversifikasi pasar.
Selama ini, ekspor kita masih bergantung pada India, China, dan Uni Eropa. Padahal, potensi pasar baru di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin sangat besar. Diversifikasi pasar harus dipadukan dengan peningkatan kualitas dan standar keberlanjutan agar produk Indonesia tetap diterima di pasar premium. Sertifikasi seperti ISPO (untuk sawit), UTZ (untuk kakao dan kopi), serta penguatan pelacakan digital berbasis blockchain akan memperkuat citra Indonesia sebagai produsen komoditas hijau yang bertanggung jawab.
Lebih dari sekadar pertanian, masa depan sektor perkebunan Indonesia ada pada bioekonomi—suatu sistem ekonomi yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan. Kelapa bisa menjadi bahan baku kosmetik, farmasi, dan bioenergi. Lada dan vanili punya pasar khusus di industri gourmet dan wewangian. Tanaman obat seperti jahe, kunyit, dan sambiloto kini masuk dalam skema industri farmasi global berbasis herbal.
Pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai Warisan Budaya Tak Benda membuka jalan bagi Indonesia menjadi pusat industri fitofarmaka dunia. Tapi ini tidak akan terjadi tanpa konsolidasi ekosistem. Pemerintah harus memperkuat sektor hulu dengan menyediakan benih unggul dan riset, sektor tengah dengan membangun pusat inovasi dan hilirisasi, serta sektor hilir dengan promosi dan perlindungan pasar.
Ke depan, kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis bioekonomi bisa menjadi solusi integratif. Dengan klaster industri yang menyatukan petani, pelaku industri, peneliti, dan eksportir dalam satu ekosistem, kita tidak hanya menciptakan produk, tapi juga inovasi dan lapangan kerja hijau.
Waktunya Bergerak Maju
Sektor perkebunan adalah masa depan Indonesia. Ia bukan sekadar penyumbang PDB atau devisa, tetapi fondasi ketahanan ekonomi, pangan, energi, dan lingkungan. Namun untuk menjadikannya sebagai lokomotif pembangunan nasional, dibutuhkan langkah konkret: reformasi kebijakan, dukungan teknologi, penguatan koperasi, diversifikasi pasar, dan investasi dalam inovasi.
Transformasi tidak bisa ditunda. Tahun 2025 adalah momentum emas. Saat dunia kekurangan pasokan, Indonesia harus hadir bukan hanya sebagai pemasok, tetapi sebagai pemimpin pasar global. Di tengah tantangan iklim, regulasi, dan persaingan, hanya negara yang adaptif dan inovatif yang akan bertahan.
Sudah waktunya Indonesia naik kelas, dari penghasil bahan mentah menjadi produsen bernilai tinggi. Dari eksportir ke pelopor industri bioekonomi global. Dan semua itu dimulai dari keberanian untuk membangun perkebunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berbasis teknologi.
Tentang Penulis:
Kuntoro Boga Andri, adalah Kepala Pusat Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Perkebunan, Kementerian Pertanian, sejak 25 Maret 2025. Sebelumnya, sejak Juli 2024, Kepala Pusat BSIP Perkebunan. Kuntoro Boga menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi di Kementerian Pertanian sejak Maret 2018. Ia sebelumnya merupakan Peneliti Utama di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Kuntoro pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) pada tahun 2016, setelah sebelumnya menjabat sebagai Kepala BPTP Riau (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau) sejak tahun 2016. Ia juga pernah menjadi Kepala LPTP Sulawesi Barat pada tahun 2016 dan Koordinator Program dan Evaluasi BPTP Jawa Timur dari tahun 2014 hingga 2015. Sepanjang kariernya, ia telah menjadi pemimpin dan konsultan untuk banyak proyek penelitian dan pengembangan baik nasional maupun internasional.
Meraih gelar Sarjana (B.Sc.) dalam bidang Sosial Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia, pada tahun 1998. Ia kemudian kemudian memperoleh gelar Magister Agronomi (M.Agr.) dalam bidang Ekonomi dan Pemasaran Pertanian dari Sekolah Pascasarjana Pertanian, Universitas Saga, Jepang, pada tahun 2004, dan gelar Doktor (Ph.D.) dalam bidang Ilmu Kebijakan dan Ekonomi Pertanian dari Sekolah Pascasarjana Pertanian Gabungan, Universitas Kagoshima, Jepang, pada tahun 2007.
Pada tahun 2016, Kuntoro Boga Andri dianugerahi beasiswa program International Visitor Leadership Program (IVLP) untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sebelumnya, pada tahun 2000, ia terpilih sebagai Yoshinogari Goodwill Ambassador dari Prefektur Saga untuk kolaborasi dalam pertukaran ilmu pengetahuan dan budaya oleh Pemerintah Prefektur Saga, Jepang.(*)