GELOMBANG protes rakyat yang berawal tuntutan pembubaran DPR kian meninggi. Bahkan berujung pembakaran dan penjarahan di mana-mana. Akibat ulah sejumlah wakil di parlemen. Namun alih-alih memberi jawaban tegas, partai politik (parpol) justru dinilai memilih jalan abu-abu. Menonaktifkan kadernya yang dianggap bermasalah. Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. PAN menyusul dengan Eko Patrio dan Uya Kuya. Golkar pun melakukan hal serupa terhadap Adies Kadir. Semua efektif berlaku sejak hari ini, 1 September 2025.
Sekilas, langkah itu tampak sebagai respons atas kemarahan publik dalam beberapa hari ini. Tetapi pertanyaan besar segera muncul. Apa sejatinya arti “nonaktif” itu? Dalam Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPRD, dan DPD), istilah ini tidak dikenal. Yang ada hanyalah pemberhentian permanen melalui Pergantian Antar Waktu (PAW) karena pengunduran diri, meninggal dunia, atau sebab lain yang sudah diatur undang-undang. Artinya, penonaktifan hanya istilah politik. Bukan tindakan hukum. Konsekuensinya, para legislator tetap berstatus anggota DPR, tetap berhak atas gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.
Maka, wajar bila keputusan tersebut dipandang sebagai manuver. Bak bermain sepak bola, bagian dari strategi mengulur waktu. Dengan status nonaktif, kader itu masih bisa kembali kapan saja ketika suasana mereda. Parpol ibaratnya berkata kepada publik. ”Kami mendengar, tetapi kami tidak sampai rela kehilangan orang dalam.”
Strategi “wait and see” ini mungkin bisa jadi aman bagi partai, tetapi bisa jadi malah berbahaya. Back fire. Hal itu dapat menciptakan kesan bahwa partai lebih melindungi kader ketimbang menjaga kepercayaan rakyat.
Padahal, krisis hari ini bukan sekadar soal ucapan kontroversial atau kebijakan yang melukai hati. Lebih dalam, krisis ini menyangkut legitimasi lembaga perwakilan. Akumulatif. Ketika rakyat merasa dikhianati, setiap keputusan politik akan ditafsirkan sebagai akal-akalan. Istilah nonaktif bukan hanya tidak memberi solusi, tetapi juga berpeluang memperlebar dan memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Kita bisa belajar dari pengalaman. Beberapa partai pada masa lalu pernah memilih jalan berani. Memecat kader bermasalah dan segera mengajukan PAW. Dampaknya memang menyakitkan secara internal, tetapi publik melihat adanya sikap tegas. Sebaliknya, keputusan abu-abu hanya meninggalkan luka lebih dalam. Terlebih, bila rakyat tahu bahwa anggota yang dinonaktifkan tetap menerima gaji dan fasilitas-fasiitas dari uang negara.
Ingat, rakyat tidak bodoh. Semua paham Vox populi, vox dei. Mereka tahu membedakan tindakan tegas dan sandiwara politik. Mereka juga tahu kapan partai benar-benar menunjukkan keberanian moral dan keberpihakan nyata. Keputusan menonaktifkan tanpa kepastian hanya menambah bensin pada api kemarahan. Gelombang demonstrasi bisa kian membesar, bukan semata karena marah, melainkan karena merasa dipermainkan.
Sudah saatnya, partai politik dan semua elite harus berhenti bermain kata-kata. Jika ingin memulihkan kepercayaan publik, tunjukkan akuntabilitas nyata. Dalam konteks persoalan ini, gunakan mekanisme resmi, jika memang tegas. Pemecatan, PAW, atau proses hukum bila ada pelanggaran. Jangan bersembunyi di balik frasa samar yang tidak dikenal dalam regulasi. Tidak cukup meminta maaf dengan gaya seolah-olah mewek, tapi hatinya tidak tulus.
Sesuai khittah, parpol dibentuk agar berpihak pada rakyat. Mewakili kepentingan rakyat . Jika tidak mampu memperbaiki nasib atau membantu, paling tidak jangan melukai hati rakyat. Rakyat tidak butuh drama-drama yang tidak lucu, melainkan tindakan nyata. Dan tindakan nyata itu hanya satu. Keberanian memutus mata rantai akal-akal bulus. Tanpa itu, kepercayaan publik akan makin tergerus, dan bukan tidak mungkin api kemarahan rakyat sulit dipadamkan. (*)






