Memastikan Peran Ahli Gizi Bukan Sekadar Pelengkap di Program MBG

oleh -78 Dilihat
pembukaan layanan pengaduan badan gizi nasional 171125 dr 01
Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan sambutan pada pembukaan layanan pengaduan BGN di Jakarta, Senin (17/11)/ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

 

WhatsApp Image 2025 08 12 at 3.42.08 PM

KabarBaik.co – Di awal pidato kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto dengan penuh semangat menyampaikan satu cita-cita besar, yaitu memastikan tersedianya Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak Indonesia. Hal tersebut dapat kita baca dengan begitu tegas dari Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih Periode 2024–2029.

Singkatnya, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan: “Jangan takut melihat realita ini. Kita masih melihat sebagian saudara-saudara kita yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah”.

Gagasan tersebut tidak hanya berulang kali ditegaskan dalam berbagai pidato Presiden Prabowo Subianto, melainkan juga telah lama dituangkan dalam karyanya yang berjudul “Paradoks Indonesia dan Solusinya”.

Dalam buku itu, Prabowo mengajak kita merenung melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar: mengapa bangsa sebesar Indonesia tidak mampu menjamin rakyatnya cukup makan? Mengapa masih ada anak-anak yang kelaparan di negeri yang begitu kaya? Haruskah kita melihat anak-anak di ibu kota sendiri tidak bisa tidur karena lapar?

Haruskah kita biarkan rakyat berjuang setengah mati hanya untuk mencari makan setiap hari, sementara kekayaan bangsa terus mengalir ke luar negeri dan kita disuruh diam serta menerima keadaan?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut bukanlah gagasan belaka, melainkan bentuk kontemplasi mendalam yang melandasi mengapa Makan Bergizi Gratis diperlukan. Oleh karena itu, program ini bukan ide yang datang tiba-tiba, melainkan gagasan visioner yang sudah lama dipikirkan dengan berlandaskan teknokratisme dan idealisme: sebuah upaya negara untuk menjawab paradoks kemiskinan, sekaligus memperbaiki kualitas gizi dan masa depan generasi penerus bangsa.

Hampir 11 bulan program Makan Bergizi Gratis berlangsung, hari ini kita masih menemukan berbagai paradoks di lapangan. Sebagaimana artikel di antaraNews.com, 24 September 2025 berjudul “Reformasi BGN”; memastikan serapan anggaran MBG yang bermakna, persoalan keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga saat ini masih menjadi tantangan serius bagi Badan Gizi Nasional (BGN), mengingat kasus serupa nyaris terjadi di berbagai titik sekolah pelaksanaan program tersebut.

Tidak hanya itu, mitra dapur MBG di Kalibata dilaporkan mengalami kerugian hampir Rp 1 miliar akibat dugaan penggelapan dana oleh yayasan penyelenggara MBG, yang semakin mempertegas besarnya potensi konflik kepentingan dalam tata kelola program ini. Rentetan berbagai peristiwa tersebut, hingga kini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai sistem pengawasan, standar keamanan pangan, serta transparansi pengelolaan dana MBG yang seharusnya menjadi prioritas untuk menjamin keberlanjutan dan kredibilitas program.

Ahli gizi

Publik dipertontonkan dengan paradoks dari proses kebijakan publik di negara kita, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Cucun Ahmad Syamsurijal menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, khususnya di media sosial, menyusul pernyataannya yang kontroversial.

Pernyataan Cucun dalam Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung, Jawa Barat, soal rencana mengganti istilah ahli gizi ramai dikritik. Pernyataan tersebut pada dasarnya tidak hanya berpotensi mengabaikan peran para ahli gizi, tetapi juga kurang memberikan penghargaan yang semestinya kepada para akademisi, teknokrat, dan profesional yang selama ini menjadi fondasi penting dalam proses perumusan kebijakan publik.

Padahal, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto merupakan program strategis yang memerlukan keterlibatan para ahli gizi secara menyeluruh, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

Karena itu, jangan biarkan ahli gizi hanya menjadi “pelengkap” dalam program MBG. Keberadaan mereka adalah elemen sentral dan tidak tergantikan. Tanpa supervisi keilmuan dari para ahli gizi, risiko terjadinya kontaminasi pangan, kesalahan takaran gizi, hingga potensi keracunan makanan akan meningkat secara signifikan.

Lebih jauh, hanya melalui kehadiran ahli gizi yang kompeten, kita dapat memastikan bahwa setiap porsi makanan yang disajikan benar-benar memberikan dampak nyata terhadap kualitas tumbuh kembang anak, terutama dalam menekan prevalensi stunting dan meningkatkan kapasitas SDM Indonesia di masa depan.

Ngomong penting

Dalam buku berjudul Public Relations: Strategies and Tactics karya Dennis L. Wilcox dan Glen T. Cameron, dijelaskan bahwa gaya komunikasi yang kurang tepat dari seorang pejabat publik dapat mencerminkan proses kebijakan yang belum sepenuhnya matang atau belum mendapat dukungan publik yang memadai.

Dengan kata lain, kualitas komunikasi pejabat publik memiliki keterkaitan erat dengan bagaimana kebijakan dirumuskan dan dipahami oleh masyarakat. Karena itu, penting bagi para pemangku jabatan untuk memastikan bahwa setiap pernyataan yang disampaikan selaras dengan kepentingan publik yang mereka layani, terutama mengingat banyak warga yang menggantungkan kehidupannya pada kebijakan pemerintah.

Fenomena kekeliruan berbicara di ruang publik, bukanlah hal yang baru. Bukan semata soal kemampuan retorika yang terbatas, namun seringkali cara penyampaian pesan, justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Kondisi ini memunculkan refleksi bagi publik: apakah kita lebih membutuhkan pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas, atau pemimpin yang memiliki kompetensi dalam mengelola pesan dan substansi kebijakan? Apakah kita membutuhkan sosok yang mampu menyampaikan hal penting secara tepat, bukan sekadar tampil berbicara?

Ke depan, kiranya menjadi pertimbangan bagi setiap pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Jika merasa belum sepenuhnya siap atau nyaman menyampaikan pesan tertentu, tidak ada salahnya menahan diri sampai pesan tersebut benar-benar siap disampaikan. Dengan begitu, komunikasi publik dapat berlangsung lebih konstruktif dan tetap menjaga perasaan masyarakat yang menjadi penerima manfaat kebijakan.

Bukan ladang cuan

Kalau kita melihat dari perspektif anggaran, Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah program yang memakan biaya ratusan triliun, bahkan hampir menyamai anggaran pendidikan. Jangan biarkan program MBG menjadi program “sekadar ladang cuan” bagi mereka yang tidak bertanggung jawab.

Negara harus memastikan agar program MBG dijalankan berbasis keahlian dan pengetahuan. Maka, ke depan, tugas penting dari Badan Gizi Nasional (BGN) adalah memastikan regulasi tata kelola MBG yang konsisten berbasis teknokratik, bukan yang dinamis berbasis kepentingan politik.

Tantangan terbesar kita, hari ini bukan sekadar memastikan hadirnya para ahli dalam proses tata kelola, melainkan menegakkan kembali otoritas pengetahuan yang berlandaskan evidensi dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam ekosistem demokrasi modern, teknokratisme tidak dimaksudkan untuk menggantikan politik, tetapi menjadi mekanisme korektif yang mencegah keputusan publik tergelincir pada populisme pragmatis atau sekadar manajemen persepsi.

Jangan sampai kita membiarkan fenomena “kematian kepakaran” dalam proses kebijakan publik kita. Sekali lagi, merawat kembali budaya dialog berbasis pengetahuan, menghargai keahlian, dan menegaskan pentingnya integritas teknokratis adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak kehilangan orientasi pada rasionalitas, akuntabilitas, dan kemaslahatan jangka panjang.

Sebagaimana berulangkali digaungkan, bahwa hari ini rakyat kita menjalani hidup sehari-hari dengan berbagai persoalan sosial dan ekonomi, bahkan sebagian besar rakyat menggantungkan keberlangsungan hidupnya atas kebijakan pemerintah.

Maka, sudah saatnya jabatan-jabatan publik yang strategis itu diserahkan kepada mereka yang pakar dan ahli pada bidangnya, bukan lagi kepada mereka yang tidak kompeten yang hanya menjadikan jabatan sebagai “embel-embel validasi”. Negara kita merindukan reformasi, maka perlu diwujudkan dengan menjaga sakralnya jabatan publik. (ANTARA)

*) Nicholas Martua Siagian adalah Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Imam Wahyudiyanta


No More Posts Available.

No more pages to load.