Menerangi Ruang Gelap: Refleksi tentang Hari Keterbukaan Informasi Nasional

oleh -607 Dilihat
GEMBOK KIP

SETIAP 30 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Keterbukaan Informasi Nasional (HAKIN). Tanggal ini menandai pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU yang disahkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu terbilang fenomenal. Seperti ungkapan kalimat yang sudah begitu akrab di telinga kita: Habis gelap, terbitlah terang!

Mashur diketahui, dulu informasi merupakan barang mewah dan langka. Semua informasi tertutup untuk publik, kecuali yang hanya bisa dibuka. Dengan UU KIP tersebut, sejatinya paradigm telah dibalik. Bahwa, semua informasi itu pada prinsipnya terbuka, kecuali informasi yang memang dirahasiakan atau dikecualikan dengan ketat dan terbatas sesuai ketentuan perundang-undangan.

Mungkin sebagian besar dari kita belum akrab dengan HAKIN. Jauh kalah populer dengan hari esoknya, 1 Mei. Yakni, Hari Buruh, yang telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Belum populernya HAKIN itu wajar. Keterbukaan informasi terdengar seperti istilah teknis yang hanya dimengerti oleh pejabat atau aktivis. Tapi, jika kita renungkan lebih dalam, keterbukaan informasi sejatinya adalah hak dasar setiap warga negara. Bahkan lebih dari itu, ia adalah penyangga utama demokrasi yang sehat. Pemerintahan yang baik.

Kita hidup di zaman di mana informasi bisa diakses dalam hitungan detik. Tapi ironisnya, tidak semua informasi yang seharusnya kita ketahui bisa kita dapatkan dengan mudah. Banyak keputusan pemerintah atau badan publik diambil tanpa penjelasan yang memadai. Banyak data publik tidak tersedia atau disajikan dalam bentuk yang sulit dipahami. Di sisi lain, banjir informasi di internet juga membawa kebingungan, hoaks, dan manipulasi.

Lalu, di tengah semua itu, apa sebenarnya makna keterbukaan informasi bagi kita? Dan kenapa kita harus peduli? Pertama, kita harus menempatkan informasi dalam posisi yang benar. Informasi publik bukan milik pribadi pejabat. Ia adalah milik rakyat. Negara bekerja atas mandat rakyat, dan rakyat berhak tahu bagaimana keputusan diambil, anggaran digunakan, dan kebijakan dijalankan.

Dengan informasi yang terbuka, rakyat bisa mengawasi jalannya pemerintahan. Bisa mengkritik, bisa memberi saran, dan yang paling penting, bisa berpartisipasi. Keterbukaan bukan hanya soal transparansi, tapi juga soal penghargaan terhadap akal sehat dan suara rakyat.

Bayangkan jika kita membeli barang di toko online, tapi tidak diberi tahu harga, kualitas, atau ulasan produk. Apakah kita akan merasa nyaman? Tentu tidak. Begitu juga dengan pemerintahan. Jika keputusan diambil tanpa kita tahu alasannya, bagaimana mungkin dapat menumbuhkan kepercayaan dan partisipasi?

Dalam banyak kasus, korupsi tumbuh subur di ruang-ruang yang gelap. Di tempat di mana informasi disembunyikan, peluang penyalahgunaan kekuasaan sangat besar. Karena itu, keterbukaan informasi adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah korupsi.

Ketika anggaran bisa dilihat publik, ketika proyek-proyek pemerintah diumumkan secara terbuka, maka para pejabat pun akan berpikir dua kali sebelum bermain curang. Publik bisa mengawasi, media bisa melaporkan, dan lembaga pengawas bisa bekerja lebih efisien.

Lebih jauh lagi, keterbukaan membangun kepercayaan. Ketika rakyat merasa dilibatkan dan dihargai, maka hubungan antara negara dan warganya pun akan semakin kuat. Ini adalah modal sosial yang sangat penting, apalagi di masa krisis seperti pandemi atau bencana alam. Negara yang dipercaya rakyatnya akan lebih mudah mengajak masyarakat untuk bekerja sama.

Saat ini, hampir semua lembaga pemerintah dari pusat sampai desa sudah mempunyai situs atau website. Juga, akun-akun media sosial. Banyak yang sudah menyediakan data terbuka atau layanan permintaan informasi secara online. Ini adalah kemajuan yang patut diapresiasi. Namun, ada tantangan besar yang menyertai kemajuan ini.

Pertama, masih banyak data yang bersifat “terbuka tapi tidak berguna.” Misalnya, berisi laporan keuangan yang dipublikasikan, tapi disajikan dengan bahasa teknis, tanpa penjelasan, dan sulit diakses orang awam. Secara formal, pemerintah sudah terbuka. Tapi secara substansi, rakyat tetap kesulitan memahami isi informasinya.

Kedua, di dunia digital, informasi bersaing dengan disinformasi. Hoaks dan manipulasi data tersebar dengan mudah, dan masyarakat sering kesulitan membedakan mana yang benar. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus disertai dengan literasi digital, edukasi publik, dan upaya memperkuat media yang independen dan kredibel.

Keterbukaan Bukan Sekadar Memberi, Tapi Juga Mendengar

Keterbukaan informasi bukan sekadar menyajikan data. Ia juga tentang membuka ruang dialog. Pemerintah yang terbuka adalah pemerintah yang mau mendengar. Ia tidak hanya berbicara satu arah, tapi juga merespons suara dari bawah. Ia menyediakan ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Di sinilah kita sebagai masyarakat juga punya peran penting. Kita tidak bisa hanya menuntut transparansi, tapi juga harus aktif menggunakan informasi itu untuk memperbaiki kebijakan, mengawasi pelayanan publik, dan membangun gerakan sosial yang lebih adil.

Keterbukaan informasi sejatinya adalah ajakan untuk menjadi warga negara yang aktif, bukan pasif. Untuk terlibat, bukan hanya menonton.

Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Di atas kertas, undang-undang ini sudah cukup progresif. Tapi implementasi di lapangan masih banyak menghadapi tantangan. Dari budaya birokrasi yang tertutup, kurangnya kesadaran dan komitmen, hingga minimnya edukasi publik.

Dalam beberapa kali kesempatan, Presiden Prabowo Subianto telah terang meneguhkan komitmen besarnya tentang digitalisasi, transparansi, dan pemerintahan yang bersih. Tentu, komitmen tersebut menjadi angin segar dalam menatap Indonesia Emas 2045 seperti telah ribuan kali didengungkan.

Berseiring dengan Kerja Jurnalistik

Keterbukaan informasi publik dengan kerja-kerja jurnalistik memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mendukung dalam mewujudkan masyarakat yang terinformasi dan demokratis. Pertama, KIP sebagai fondasi kerja jurnalistik. KIP memastikan bahwa jurnalis memiliki hak dan akses yang lebih mudah terhadap berbagai dokumen, data, dan informasi yang dimiliki oleh badan-badan publik. Undang-undang KIP, misalnya, secara eksplisit memberikan hak kepada setiap orang, termasuk jurnalis, untuk memperoleh informasi publik.

Dengan akses yang lebih terbuka, jurnalis dapat melakukan verifikasi informasi secara lebih mendalam dan akurat. Mereka dapat membandingkan data dari berbagai sumber resmi, memastikan kebenaran fakta sebelum dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini krusial dalam menjaga kualitas dan kredibilitas berita. Selain itu, KIP memicu jurnalis untuk melakukan investigasi yang lebih mendalam terhadap isu-isu penting yang menyangkut kepentingan publik. Dokumen dan data yang terbuka dapat menjadi titik awal untuk mengungkap potensi penyimpangan, korupsi, atau kebijakan yang merugikan masyarakat.

Akses terhadap beragam informasi dari sumber publik juga memungkinkan jurnalis untuk menyajikan berita dengan perspektif yang lebih kaya dan komprehensif. Mereka dapat menyertakan data dan fakta pendukung yang kuat, memberikan konteks yang lebih jelas kepada pembaca atau pemirsa.

Kedua, jurnalis memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengkritisi implementasi Undang-Undang KIP. Melalui pemberitaan, mereka dapat menyoroti badan-badan publik yang enggan atau mempersulit akses informasi, sehingga mendorong kepatuhan terhadap undang-undang. Jurnalis bertindak sebagai perantara yang menyampaikan informasi publik yang kompleks dan seringkali sulit diakses oleh masyarakat umum. Mereka mengolah informasi tersebut menjadi berita yang mudah dipahami dan menarik, sehingga menjangkau khalayak yang lebih luas.

Ketiga, liputan jurnalistik yang didasarkan pada informasi publik yang terbuka dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi badan-badan publik. Sorotan media terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah atau lembaga lainnya dapat memicu perbaikan dan akuntabilitas. Keempat, melalui pemberitaan dan ruang diskusi yang mereka fasilitasi, jurnalis dapat mendorong partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Informasi yang terbuka memungkinkan masyarakat untuk memberikan masukan, kritik, dan mengawasi jalannya pemerintahan.

Dengan demikian, keterbukaan informasi publik menciptakan ekosistem yang kondusif bagi jurnalisme berkualitas. Sebaliknya, kerja-kerja jurnalistik yang kritis dan bertanggung jawab menjadi pilar penting dalam menjaga agar keterbukaan informasi publik tidak hanya menjadi retorika belaka, tetapi benar-benar diimplementasikan demi kepentingan masyarakat.

Singkatnya, keterbukaan informasi publik adalah bahan bakar bagi kerja jurnalistik yang berkualitas, dan kerja jurnalistik yang profesional adalah pengawal utama agar semangat keterbukaan informasi publik tetap hidup dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Nah, HAKIN adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Keterbukaan informasi bukan hadiah yang diberikan dari atas ke bawah. Ia adalah hak yang harus terus diperjuangkan bersama.

Dalam masyarakat yang sehat, kebenaran tidak disembunyikan. Ia dirawat bersama, dijaga, dan dibagikan. Keterbukaan bukan hanya soal hukum atau kebijakan. Ia adalah cermin dari kedewasaan kita sebagai bangsa. 30 April bukan sekadar peringatan seremonial, tapi momentum untuk menghidupkan semangat terbuka—dalam data, dalam kebijakan, dan dalam hati. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.