Menggigit Rasa Frustrasi

oleh -62 Dilihat
unnamed
Zainal Arifin Emka

Angka triliunan berseliweran mampir di telinga rakyat. Ya di telinga. Bukan Di tangan, apalagi di kantong rakyat. Para elit berbicara tentang uang triliunan dengan nada enteng. Sementara rakyat berdompet tipis mendengarnya dengan miris.

Memang ada kabar baiknya. Kadang angka triliunan rupiah itu dalam konteks pembangunan proyek jembatan, makan gratis bergizi (meski kadang beracun), dana suntikan untuk bank pemerintah, atau bantuan sosial. Dan, yang tak pernah ketinggalan, dana ratusan triliun yang diembat koruptor cerdik.

Berjuta rakyat kecil dipaksa mendengarkan angka triliunan itu. Dari warung kopi atau di sela kerja panen padi yang keburu diserbu beras impor. Mereka hanya bisa mengelus dada. Bagi mereka, angka jutaan saja sudah terasa jauh, apalagi triliunan.

Terasa Abstrak
Bagi sebagian besar rakyat yang tengah bergulat mendapatkan seribu atau
seratus ribu, perbincangan mengenai dana triliunan rupiah itu menggigit rasa
ketidakadilan, frustrasi, dan bahkan kepedihan.

Mengapa terasa menyakitkan?
Rakyat mengalami kesulitan finansial yang nyata dan mendesak. Bagi rakyat setiap rupiah sangat berarti. Wajar jika nominal triliunan terasa sangat abstrak dan jauh dari realitas mereka. Serasa menciptakan jurang lebar antara elit pengambil kebijakan dan rakyat biasa.

Pernyataan tentang dana triliunan yang “menghambur” atau dialokasikan untuk hal-hal yang tidak terasa mendesak atau langsung membantu rakyat, telah menimbulkan persepsi bahwa para pembuat keputusan tidak sensitif atau tidak memahami kesulitan hidup rakyat.

Ketika rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok, munculnya berita tentang dana triliunan untuk proyek, membuat publik bertanya-tanya: “Apakah prioritas pemerintah sudah tepat?” Apakah dana digunakan mengatasi masalah dasar yang dialami rakyat?

Rasa Sakit
Tentu saja rakyat paham bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang beredar dalam skala ratusan hingga ribuan triliun rupiah. Ketika berbicara tentang pembangunan infrastruktur, dana bantuan sosial nasional, atau pembayaran utang negara, nominalnya selalu triliunan.

Pertanyaan rakyat sederhana saja: Apakah dana triliunan yang dialokasikan untuk pos-pos besar berdampak jangka panjang pada perekonomian dan kesejahteraan rakyat? Sebut saja pembangunan jalan, bandara, atau pelabuhan, subsidi energi dan pangan, anggaran kesehatan dan pendidikan.

Jadi, masalah utamanya bukan semata pada angka triliunan, melainkan pada akuntabilitas dan dampak nyata dana. Publik berharap transparansi dan kejelasan tentang ke mana dana triliunan itu mengalir dan untuk kepentingan siapa.

Nominal triliunan harus diterjemahkan menjadi dampak positif yang dapat dirasakan langsung. Seperti penciptaan lapangan kerja, stabilitas harga pangan, perbaikan layanan publik, atau peningkatan daya beli masyarakat.
Jika dana triliunan terkesan “menghambur” tanpa hasil yang jelas atau bahkan ada indikasi korupsi, ini akan semakin memperparah rasa sakit dan menyulut ketidakpercayaan publik.

Harapan rakyat itu sekaligus mengirimkan pesan tentang rasa sakit akibat kontras antara kesulitan rakyat dan ucapan dana triliunan. Sangat valid dan merupakan cerminan dari tuntutan publik akan keadilan sosial, sensitivitas kepemimpinan, serta pengelolaan keuangan negara yang transparan dan berorientasi pada kepentingan rakyat kecil.

Dana Mengendap
Ada dua topik utama mengenai dana triliunan rupiah yang sedang menjadi sorotan publik. Ada dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap “diternakkan” di bank sebesar Rp234 Triliun. Menteri Keuangan Purbaya bilang, dana Pemda yang bersumber dari APBN itu seharusnya digunakan untuk pembangunan. Bukan diendapkan di rekening perbankan.

Melihat ini saja kita bisa memahami rasa sakit rakyat. Uang publik itu seharusnya berputar untuk menggerakkanekonomi lokal, menciptakan pekerjaan, dan membiayai layanan dasar bagi rakyat.

Di sini terbaca kontrasnya. Rakyat kesulitan mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, sementara uang negara mengendap dalam jumlah sangat besar karena lambatnya serapan anggaran atau eksekusi program di daerah.

Masih soal angka triliunan. Pemerintah menyalurkan dana Rp200 triliun ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara. Tujuannya jelas: dana disalurkan sebagai kredit untuk menggerakkan sektor riil dan meningkatkan perekonomian.

Pemerintah maunya memicu pertumbuhan ekonomi. Namun publik khawatir dana tidak benar-benar mengalir ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Atau sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat, Jangan justru menguntungkan konglomerat atau proyek besar saja.

Seolah menyuarakan kecemasan rakyat, Menkeu Purbaya mewanti-wanti bank agar dana tersebut tidak diberikan sebagai kredit kepada konglomerat.
Kedua kasus itu menunjukkan bahwa perbincangan tentang “dana triliunan” menjadi menyakitkan bukan hanya karena kontrasnya dengan isi dompet rakyat. Tapi karena dana Rp 234 T yang mengendap di saat rakyat membutuhkan pergerakan ekonomi.

Pada bagian ini diperlukan sensitivitas dan akuntabilitas para pemangku kebijakan untuk memastikan kekayaan negara benar-benar digunakan untuk memecahkan masalah dasar rakyat.

Jarak Moral
Fenomena ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal jarak sosial dan moral. Negara berbicara dalam bahasa triliun, rakyat hidup dalam realitas puluhan ribu. Di titik inilah, kepercayaan publik bisa goyah.

Rakyat merasa negara bicara dengan bahasa yang tak mereka pahami. Uang rakyat dihabiskan atau diselewengkan dalam dugaan korupsi kereta cepat, pengadaan Coretax, dana pajak yang digelapkan, pengadaan laptop, atau
dana pembangunan yang “dicocok-tanamkan“ di bank. Di titik ini rasa keadilan seperti dicabut dari akar nurani.

Rasanya tak berlebih untuk mengatakan bahwa sebenarnya kita sedang
menyaksikan dua dunia yang hidup berdampingan, tapi tak lagi saling memahami.

Dunia rakyat yang sehari-hari berjuang agar dapur tetap berasap, dan dunia
elite yang sibuk mengatur anggaran besar tanpa empati yang cukup untuk
membayangkan makna “seratus ribu rupiah” bagi rakyat miskin.

Masalahnya bukan pada besarnya uang, melainkan kecilnya rasa
malu dan tipisnya empati.

*Penulis adalah Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Zainal Arifin Emka
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.