KabarBaik.co – Dalam dinamika perang tarif yang dipicu oleh kebijakan Presiden AS, Donald Trump, berbagai analisis muncul, termasuk tulisan menarik dari M. Jehansah Siregar, Ph.D. (JS), dosen SAPPK-ITB, yang berjudul “Indonesia Berdikari, Kembali ke Konstitusi.” JS menyuarakan pentingnya kembali kepada semangat konstitusi Indonesia di tengah guncangan ekonomi global yang semakin fragmentaris.
JS mengingatkan bahwa perang tarif ini tidak hanya menjadi pukulan bagi tatanan global, tetapi juga mendorong setiap negara untuk mengevaluasi ulang posisi dan strategi ekonominya. Paradigma nasionalisasi dan regionalisasi kini mengemuka sebagai alternatif untuk mengimbangi globalisasi yang telah terlalu liberal. “Konstitusi tidak akan pernah mengkhianati bangsa,” ungkapnya, merujuk pada semangat berdikari dan kedaulatan yang tertuang dalam UUD 1945.
Seorang pakar dari CSIS dalam diskusi di CNBC juga menggarisbawahi pentingnya memahami motivasi Trump sebelum mengambil langkah gegabah. Motifnya terlihat dalam keputusan Trump menunda tarif impor terhadap Meksiko dan Kanada, yang disambut positif oleh pasar saham. Gedung Putih menyebut alasan “tidak semua negara perlu diperangi dengan tarif,” sementara Wall Street berpesta pora dengan kenaikan indeks saham yang signifikan.
Trump tampaknya bertujuan mengevaluasi perjanjian perdagangan bilateral, memanfaatkan perang tarif sebagai strategi untuk menegosiasikan ulang keuntungan bagi AS. Hal ini, menurut JS, mengarahkan dunia menuju tatanan ekonomi baru yang lebih “justified,” sekaligus mengingatkan bahwa globalisasi yang terlalu liberal telah memperburuk ketimpangan, bahkan di negara maju seperti AS dan Uni Eropa.
Perang tarif dan proteksionisme memicu fenomena deglobalisasi atau “slowbalisasi,” yakni globalisasi yang melambat dengan lebih banyak fragmentasi. Beberapa tren mencolok meliputi perlambatan perdagangan global, penguatan nasionalisasi ekonomi, fragmentasi blok ekonomi, dan penurunan investasi lintas negara.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa rasio perdagangan terhadap PDB dunia telah menurun sejak 2008, sementara laporan DHL Global Connectedness Index 2023 mencatat stagnasi konektivitas global. Proteksionisme, meski sulit menghapus ketergantungan ekonomi antarnegara, tetap menjadi ancaman bagi efisiensi produksi, inovasi global, dan stabilitas geopolitik.
Di tengah tren proteksionisme, JS menyerukan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi sebagai landasan kebijakan. Fokus pada kebutuhan dasar, pengurangan ketimpangan, dan keadilan sosial menjadi prioritas dalam strategi pembangunan. Semangat berdikari ini tidak hanya relevan untuk menghadapi tantangan ekonomi global, tetapi juga sebagai wujud nyata dari cita-cita bangsa yang berdaulat.
Dengan merefleksikan sejarah, Indonesia dapat kembali memainkan peran penting dalam dialog global seperti yang pernah dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika. Meski tantangan deglobalisasi nyata, JS optimistis bahwa dengan ketenangan dan kebijakan yang bijak, Indonesia mampu mengarungi turbulensi ekonomi global dengan kepala tegak.
Namun, deglobalisasi juga membawa tantangan baru, terutama terkait krisis iklim, pangan, dan energi. Proteksionisme dapat memperburuk ketidakseimbangan sumber daya, menambah tekanan inflasi, dan memperlambat inovasi. Dalam kondisi ini, peran konstitusi sebagai panduan kebijakan semakin krusial.
Kesimpulannya, perang tarif Trump bukan sekadar ancaman, tetapi juga peluang untuk membangun ketahanan ekonomi berbasis konstitusi. Dalam pusaran proteksionisme dan slowbalisasi, Indonesia dapat meniti jalan berdikari, memperkuat kedaulatan, dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.(*)






