KabarBaik.co – Berlabel premium, beraroma wangi, namun ternyata hasil oplosan. Itulah modus curang yang dilakukan produsen beras bermerek SPG di Sidoarjo. Penggerebekan oleh tim Satgas Pangan Satreskrim Polresta Sidoarjo pada akhir Juli 2025 mengungkap praktik sistematis untuk menipu konsumen melalui rekayasa mutu beras.
Beras SPG yang diklaim premium diproses menggunakan tiga mesin berkapasitas total 12–14 ton per hari. Bahan baku berasal dari beras pecah kulit (PK) yang dipoles dua kali, disaring, lalu dimasukkan ke mesin pemisah patahan dan benda asing. Namun, sebelum dikemas, beras tersebut justru dicampur dengan merek lain.
“Beras hasil produksi dicampur dengan beras merk Pandan Wangi untuk memberikan aroma wangi, dengan perbandingan 10 (beras SPG) : 1 (beras merk Pandan Wangi) dalam satuan kilogram,” jelas Kapolda Jatim Irjen. Pol. Nanang Avianto dalam konferensi pers, Senin (4/8).
Modus ini membuat beras SPG tampak wangi dan bersih, sehingga konsumen mengira produk tersebut berkualitas tinggi. Namun, hasil uji laboratorium membuktikan bahwa komposisinya tak sesuai standar premium, sebagaimana diatur dalam SNI No. 6128:2020 dan peraturan kementerian terkait.
Ironisnya, produsen CV. Sumber Pangan Grup (SPG) tetap mencantumkan label SNI dan Halal pada kemasan, meski tidak memiliki izin atau sertifikat resmi. “Pemilik CV SPG tidak mempunyai kompetensi atau pengetahuan dalam hal produksi beras premium,” ujarnya.
Dari lokasi produksi di Desa Keper, Krembung, polisi menyita total 12,5 ton beras dari berbagai tahap. Mulai bahan mentah, beras pecah, Pandan Wangi, hingga produk jadi bermerek SPG. Semua barang bukti kini diamankan di Polresta Sidoarjo.
Menurut Kapolresta Sidoarjo Kombes. Pol. Christian Tobing, beras SPG sudah tersebar di wilayah Sidoarjo dan Pasuruan. “Saat ini sedang dilakukan proses penarikan pemasaran di toko maupun agen-agen penjualan beras,” terangnya.
Sementara itu terkait potensi kerugian yang diakibatkan oleh tersangka, jika dihitung dari selisih harga beras premium dan medium maka ditemukan potensi kerugian hingga Rp 504 juta.
“Kemudian kalau terhitung dari lama operasional selama 2 tahun atau 24 bulan, totalnya 13 miliar 104 juta,” tutupnya. (*)