TIDAK semua kisah besar tertulis di kertas bersampul marmer. Ada yang ditoreh di tanah liat, dengan keringat sebagai tintanya dan ketabahan sebagai pena. Di Jember yang hijau, di Desa Manggisan yang sederhana, lahirlah seorang anak. Muhammad Arum Sabil. Bukan dari rahim istana, melainkan dari rahim ladang, yang menyusui anak-anaknya dengan kerja keras dan doa panjang.
Ia dilahirkan pada 20 Juni 1966. Di tengah angin sejarah yang mengguncang bangsa. Sisa-sisa G30S yang dibersihkan dengan tangan besi. Namun, dalam sunyi malam yang tegang, ibunya menyaksikan pertanda yang lebih sunyi lagi: mimpi purnama, telur yang raib ditelan lapar, dan nyala lampu petromak di ambang fajar. Sebuah orkestra spiritual yang seakan mengabarkan, bahwa anak ini kelak bukan sekadar penumpang nasib, tapi pengemudi arah.
Nama “Muhammad” adalah doa. “Arum” adalah panggilan ladang, dan “Sabil” adalah jalan. Maka, jadilah Muhammad Arum Sabil, jalan harum menuju kebajikan. Sebuah nama yang bukan hanya panggilan, melainkan peta hidup.
Arum tumbuh bukan di rumah bertegel keramik. Tapi, di gubuk-gubuk yang berpindah seperti musim. Dari Manggisan ke Zelandia, Curahbira, hingga Patemon, hidupnya adalah kitab berpindah yang setiap halamannya ditulis ulang dengan sabar.
Kala itu, anak-anak lain mungkin mengenal mainan dan buku. Ia mengenal “ngasak”. Memungut rezeki dari sisa panen. Di sekolah dasar (SD), ketika bayang-bayang putus sekolah mendekat, ia melawan dengan “jemblem” dan kue-kue dagangan. Tak ada yang bisa merampas mimpi dari tangan anak kecil yang menjajakan keberanian. Ia belajar bahwa pendidikan bukan tentang gedung megah, melainkan tentang kehendak yang tak mau menyerah.
Ketika sebagian anak merengek ingin dibantu, Arum justru mencuci pakaian dan merapikan ranjang tanpa diminta. Ia belajar memberi, bahkan saat belum memiliki. Ia menjadi lelaki kecil yang memikul tanggung jawab lebih berat dari tas sekolahnya.
Lensa Kehidupan: Dari Jepretan ke Jejaring
Hadiah dari paman, sebuah kamera manual, kala itu bukan sekadar alat. Tapi, jendela. Dengan kamera itu, Arum sempat menjadi tukang foto keliling. Ia merekam wajah-wajah harap, senyum-senyum sederhana yang tak pernah masuk majalah. Namun sejatinya, dalam setiap jepretan, ia sedang membidik masa depannya sendiri.
Dia belajar bahwa pencahayaan, sudut pandang, dan diafragma adalah metafora hidup. Hidup perlu pencahayaan batin, sudut pandang luas, dan kemampuan membuka dan menutup diri pada waktu yang tepat. Kamera itu pula yang mempertemukannya dengan banyak orang, membangun jaringan, dan menabur benih kepemimpinan yang kelak tumbuh di ladang yang lebih luas.
Bahkan, ketika ia terpilih tiga kali menjadi Ketua OSIS, itu bukan karena popularitas, melainkan karena aura tanggung jawab yang terpancar sejak usia dini.
Cita-citanya sederhana. Menjadi sinder perkebunan yang menunggang kuda dan mengenakan topi mandor. Tapi, realitas memberinya peran sebagai pengamat hama. Ia tak menolak. Ia belajar. Namun panggilan takdir lebih nyaring dari gaji bulanan.
Kalimantan menjadi panggung berikutnya. Dari penebas hutan menjadi mandor besar di PT HAS Farm. Tak ada yang ajaib di situ, selain tekad yang konsisten, kerja yang tak mengenal lelah, dan keyakinan bahwa tanah—di mana pun ia berpijak—selalu bisa digarap dengan tekun.
Namun, tanah kelahiran memanggil. Tanggul, desa yang melahirkan mimpinya, mengundangnya pulang. Ia kembali bukan dengan tangan kosong, tapi dengan ilmu, pengalaman, dan hasrat baru: menjadi petani tebu.
Setengah hektare lahan adalah kanvas tempat ia memulai melukis perjuangan. Kamera usang kembali berguna. Memotret anak sendiri, lalu rapor siswa, hingga proyek foto KTP se-Kabupaten Jember. Dari setiap jepretan, lahannya bertambah, dan dari tiap foto, kepercayaan masyarakat tumbuh.
Di mata Arum, tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat petani dijadikan subordinat oleh pabrik gula. Di ladang-ladang tebu yang harum, ia mencium bau ketidakadilan. Impor gula yang menekan harga lokal, sistem tata niaga yang timpang, dan relasi yang timpang membuatnya geram.
Tahun 1997, bara itu menyala. Ia bersama para petani membentuk tim perjuangan. Lalu lahirlah PPTR (Paguyuban Petani Tebu Rakyat). Tapi itu baru permulaan. Ketika badai liberalisasi datang lewat LoI dengan IMF, Arum tahu bahwa ini bukan pertarungan lokal, melainkan pertarungan nasional.
Ia ke Jakarta. Sendirian. Berdiri di depan Gedung DPR. Suaranya mungkin kecil, tapi gema moralnya menggetarkan ruang rapat. Itulah demonstrasi solo yang menjadi cikal bakal berdirinya APTR Wilker PTPN XI. Tanpa sensasi, tanpa baliho. Hanya suara jernih dari ladang yang menyuarakan keadilan.
Ia ditunjuk menjadi ketua. Bukan karena kampanye, tapi karena integritas. Ia adalah wajah petani sejati, bukan wajah yang mendadak bertani jelang pemilu.
Tahun 2003, di tanggal 11 Maret yang tak biasa, lahirlah APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia). Arum diangkat menjadi ketua nasional. Sejak itu, ia bukan hanya juru bicara petani Jember, tapi suara dari ribuan petani dari Lampung hingga Bone.
Lewat APTRI, ia memimpin perlawanan terhadap impor liar, penyelundupan gula, dan kebijakan tak adil. Lewat lobi-lobi yang bijak dan sikap yang teguh, lahir SK Menperindag Nomor 643/2002 dan Nomor 61/2004. Ini bukan sekadar pasal dan ayat. Ini adalah pagar bagi ladang, perisai bagi petani.
Lilin Kecil yang Menerangi Ladang Gelap
Ketenaran tidak membuatnya mabuk. Rumahnya tetap terbuka bagi petani, tukang becak, anak yatim. Tiga bulan sekali, zakat dan sedekah mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Pelita Hati School didirikan, bukan untuk menara gading, tapi untuk menanamkan kesadaran lingkungan dan nilai kebaikan.
Di Padepokan Arum Sabil, ia mempraktikkan pertanian organik, zero waste, dan spiritualitas tanah. Ia bukan hanya petani, ia perawat bumi. Ia bukan hanya pemimpin organisasi, ia guru kehidupan.
Di Gerakan Pramuka, ia dihormati dengan Lencana Melati. Tapi baginya, semua penghargaan hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan sejatinya adalah: petani sejahtera, negeri pun kuat.
Kini, Arum memulai babak baru sebagai ketua DPD HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Jawa Timur masa bakti 2024–2029. Tapi, dalam dirinya, tak ada ambisi kekuasaan. Hanya panggilan untuk terus menabur, terus menyirami, agar ladang-ladang Indonesia tidak gersang oleh ketidakadilan.
Arum bukan sekadar nama. Ia adalah jalan. Jalan yang harum, jalan yang terpuji. Dan seperti benih yang jatuh di tanah subur, dari satu jiwa yang teguh, tumbuhlah gerakan yang merimbun, menaungi ribuan harapan. Arum adalah bukti bahwa dari setetes keringat petani, dapat lahir samudra perubahan.
Ladang Baru Bernama Pendidikan Tinggi
Dan kini, di pertengahan tahun 2025, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menabuh gong baru. Di tengah suasana yang khidmat, diumumkan bahwa Arum diangkat menjadi ketua Dewan Pengawas (Dewas) kampus tersebut. Sebuah penunjukan yang tak lahir dari upacara seremonial semata, tapi dari keyakinan bahwa tokoh ladang ini bisa menjadi penjaga taman ilmu.
Rektor UIN Malang Prof Zainuddin menyambutnya seperti ladang menyambut hujan pertama. “Beliau adalah tokoh penting dalam pertanian, perkebunan, dan pendidikan,” ujarnya. Bersama Arum Sabil, kampus ini tidak hanya membangun gedung, tapi membangun makna baru pendidikan.
Dan niat itu tak main-main. Tanah seluas 12 hektare telah dihibahkan di Malang Selatan. Di sana akan berdiri Agrokomplek Kampus 4, tempat pertanian, perkebunan, dan peternakan bertemu dengan ilmu dan riset. Sebuah simfoni antara tanah dan akal, antara rumput dan laboratorium, antara desa dan dunia.
“UIN Malang harus menjadi kampus percontohan. Tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia,” kata Arum, yang kini disapa akrab Abah Arum oleh sivitas akademika.
Ia melihat UIN Malang ini istimewa karena bisa mengintegrasikan keilmuan dan lingkungan. Di sinilah masa depan SDM unggul bisa disemai. Dan benar, lebih dari 16.000 mahasiswa, dari 42 negara, adalah benih-benih itu.
Arum tidak sedang mencari nama. Ia sedang menanam makna. Ia percaya bahwa tanah bisa diajak berdialog, bahwa ilmu bisa ditanam, bahwa kampus dan ladang bisa berjalan beriringan. Ia adalah narasi hidup yang membuktikan: dari lumpur bisa lahir pemimpin. Dari kamera usang bisa lahir masa depan. Dan dari tangan petani bisa lahir kebijakan negara.
Maka, jangan sepelekan orang yang pernah menjual jemblem. Sebab ia mungkin sedang menyiapkan kampus masa depan untuk anak-anakmu. (*)
Keterangan: Dihimpun dari sejumlah sumber (skripsi dan media)