KabarBaik.co – Seorang ibu dua anak berinisial WN, 41 tahun, di Mojokerto harus menanggung pil pahit dalam pernikahannya. Selama 10 tahun, ia diduga menjadi korban kekerasan psikis yang dilakukan oleh suaminya sendiri yakni, BHP, 42 tahun.
Perempuan asal Desa Kauman, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto ini mengaku hidup dalam tekanan mental yang berat selama satu dekade. “Saya hidup seperti di tahanan tanpa jeruji, tersenyum di luar hancur di dalam,” ungkap WN pada Kamis (15/5).
Setiap hari, WN merasakan ketakutan, selalu disalahkan, dan mentalnya terus dijatuhkan. Meskipun tidak mengalami kekerasan fisik, akumulasi kekerasan psikis ini membuatnya didiagnosis mengalami gangguan depresi berat oleh rumah sakit.
Bahkan, pihak rumah sakit merekomendasikan agar WN mendapatkan penanganan intensif melalui psikoterapi dan terapi psikofarmaka.
“Kekerasan psikis itu juga dilakukan di hadapan kedua anak, hingga kedua anak seperti mengalami broken home dan tidak mau sekolah,” jelasnya.
WN dan BHP menikah pada tahun 2015. Tahun pertama pernikahan berjalan harmonis, bahkan mereka bersama-sama menjalankan usaha keluarga WN, yaitu berjualan kerupuk rambak.
Namun, keretakan mulai terjadi di tahun 2016 ketika WN mengetahui bahwa BHP berselingkuh. Fakta ini terungkap saat selingkuhan BHP datang ke rumah WN dan mengaku hamil anak BHP. Wanita tersebut bahkan membuat keributan dan merusak rumah WN.
Saat itu, WN melaporkan BHP dan selingkuhannya ke Polsek Bangsal dan berniat untuk bercerai. Namun, BHP berhasil merayu WN untuk berdamai dengan janji akan berubah. WN yang mempertimbangkan kedua anaknya akhirnya mencabut laporan polisi.
Sayangnya, janji BHP tak ditepati. Sifat buruknya justru semakin menjadi-jadi. WN bahkan menduga BHP adalah pengguna sabu-sabu. Ia pernah menemukan alat hisap sabu di tas anak bungsunya dan melihat notifikasi pesan transaksi narkoba di ponsel BHP.
Perilaku temperamental BHP juga semakin parah. Ia kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas di depan WN dan kedua anaknya yang masih berusia TK dan SD.
Selain itu, BHP diduga menghabiskan uang usaha sekitar Rp 500 juta tanpa diketahui peruntukannya dan membuat utang ratusan juta rupiah kepada orang tak dikenal.
Setiap kali WN meminta cerai, BHP mengancam akan bunuh diri. Namun, WN merasa sudah tidak tahan lagi hidup dengan BHP yang dianggap tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik.
Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya, sejak Maret 2025, WN bersama kedua anaknya terpaksa mengungsi ke rumah saudaranya di Malang.
Puncaknya, pada 8 April 2025, WN melaporkan BHP ke Polres Mojokerto dengan nomor laporan STTLPM/114/SATRESKRIM/IV/2025/SPKT/POLRES MOJOKERTO.
“Saya tidak mau anak saya tumbuh dengan cara setiap hari melihat ibunya diperlakukan seperti itu,” tegas WN.
Kuasa hukum WN, Joko Raharjo, menambahkan bahwa kliennya telah menjalani pemeriksaan psikologis di RS Bhayangkara Polda Jatim setelah melapor ke polisi. Namun, hingga kini hasilnya belum keluar.
Pihaknya juga menyebutkan bahwa dua orang saksi dari pihak korban telah diperiksa oleh penyidik Satreskrim Polres Mojokerto. Dalam waktu dekat, penyidik akan memanggil BHP untuk dimintai keterangan.
“Tanggal 10 April lalu kami juga melakukan audiensi dengan Pak Kapolres. Di situ beliau memberi atensi khusus dengan memanggil penyidik,” ungkap Joko.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Mojokerto AKP Nova Indra Pratama membenarkan adanya laporan kasus kekerasan psikis yang dilaporkan oleh WN.
Namun, pihaknya belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut karena masih melakukan pengecekan berkas dan perkembangan kasus.
“Saya cek dulu,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.(*)






