KabarBaik.co- KH Muhammad Yusuf Hasyim, paman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tengah diusulkan sebagai pahlawan nasional. Seminar nasional pengusulan Pak Ud—panggilan akrab KH Muhammad Yusuf Hasyim—itu telah digelar di Gedung Al-Marwah Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, Minggu (16/3).
Agenda tersebut diselenggarakan oleh Pondok Pesantren (PP) Tebuireng Jombang dan Universitas Abdul Chalim (UAC) Mojokerto bekerja sama dengan Pemprovs Jatim. Usulan gelar pahlawan nasional bagi Pak Ud itu mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Termasuk dari Gubernur Jatim Khofifah lndar Parawansa.
‘’Kami mengapresiasi acara ini karena sangat sedikit kiai NU (Nahdlatul Ulama) yang tercatat dengan baik dalam dokumentasi negara. Maka tugas kita kaum santri untuk mendokumentasikan itu semua. Meski proses itu diakui akan panjang dan butuh perjuangan,” ujarnya.
Pengasuh PP Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) menyampaikan, Pesantren Tebuireng saat di bawah kepemimpinan KH Muhammad Yusuf Hasyim sebagai pengasuh berhasil melewati masa-masa sulit. Terutama di era 1965.
’’Bahkan, pada tahun 1967 mendirikan kampus Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang itu masih jarang bagi kalangan pesanten,’’ kata Gus Kikin yang juga ketua PWNU Jatim itu.
Karena itu, lanjut dia, pihaknya turut mendukung pengusulan KH Muhammad Yusuf Hasyim sebagai pahlawan nasional. ’’Sebagaimana pernyataan yang disampaikan staf khusus Menteri Sosial Rl dan Ibu Gubernur Jatim,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Mojokerto KH Asep Saifuddin Chalim menyampaikan ucapan terima kasih kepada Gubernur Jatim atas dukungan dan bantuan dalam pengusulan gelar pahlawan nasional untuk KH Muhammad Yusuf Hasyim. ’’Beliau (gubernur) tidak hanya menginisiasi pengajuan gelar pahlawan ini, tapi juga membantu prosesnya,’’ kata Kiai Asep yang juga ketua umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Kiai Asep pun mendorong agar tim pengusul terus semangat dan tekad yang kuat, khususnya dalam mempersiapkan berkas pengusulan gelar pahlawan tersebut. ‘’Niat yang ikhlas mengabdi kepada kiai, nanti akanmenemukan jalan yang terbaik,’’ ungkapnya.
Dalam acara itu, juga dimeriahkan penampilan budayawan berjuluk Celurit Emas D Zawawi lmron. Tokoh asal Madura itu membacakan puisi terbarunya berjudul KH Muhamamd Yusuf Hasyim. Seminar nasional itu ditutup doa yang dipimpin Syekh Ahmad Muhammad Al-Mabruk Al-Hasani, seorang dosen Universitas Al-Azhar, yang sedang tugas mengajar di Ponpes Tebuireng.
Ketokohan Pak Ud
Dilansir dari portal NU, tidak seperti anak kiai kebanyakan yang selalu diawali dengan gus atau juga kiai. Pak Ud, panggilan akrabnya, mengesankan sebagai tokoh apa adanya. Namun, kiprahnya sangat luar biasa.
Pak Ud memang berdarah kiai yang lahir ketika para santri tengah syahdu melantunkan ayat-ayat suci Alquran di Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia adalah putra bungsu dari muasssi (pendiri) NU Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari, dari tujuh orang bersaudara. Pak Ud lahir 3 Agustus 1929.
Masa kecilnya lebih dihabiskan untuk memperdalam ilmu keagamaan. Di samping belajar langsung pada ayahandanya, sejak umur 12 tahun sudah melancong ke Pesantren Alquran di Sidayu, Gresik, yang diasuh Kiai Munawar. Setelah itu, ke Jogjakarta untuk nyantri ke Ponpes Krapyak, di bawah asuhan Kiai Ali Ma’sum. Ia juga pernah belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Ketika usianya genap 16 tahun, Pak Ud sudah bergabung ke Laskar Hizbullah Jatim. Itu terjadi pada awal tahun 1945. Maklum, pada waktu itu, perang telah berkecamuk di mana-mana. Saat Resolusi Jihad dikeluarkan para ulama tanggal 22 Oktober 1945, yang turut mendorong meletusnya peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, Pak Ud terpilih sebagai Komandan Kompi Laskar Hizbullah Jombang. Itu pula yang membuat tentara Belanda merangsek ke Jombang dan meluluh-lantakkan kota santri.
Keadaan waktu itu betul-betul meradang. Pasukan Belanda kemudian bergerak ke arah selatan, untuk mengejar Laskar Hizbullah pimpinan Pak Ud. Dada kirinya tertembak dalam kontak senjata di Desa Nglaban, Cukir. Untungnya, peluru-peluru itu tidak sampai menembus dadanya. Hanya baju seragam militernya yang terkoyak. Namun demikian, desing peluru itu sempat membuatnya pingsan selama berjam-jam.
Ketika Laskar Hizbullah dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia pada tahun 1947, Pak Ud masuk menjadi tentara aktif dan mendapat pangkat letnan satu hingga pensiun. Dalam peristiwa Madiun 1948, Pak Ud menjadi salah satu komandan tempur yang berada di garis depan. Pak Ud bersama pasukannya berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting yang diculik PKI. Di antaranya Kapten Hambali, KH Ahmad Sahal, dan Pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo KH Imam Zarkasyi.
Pascaperistiwa berdarah G 30 S/PKI, Pak Ud masih terus berjuang. Selain pernah menjadi Ketua Wilayah Ikatan Bekas Pejuang Islam Indonesia Jatim, juga bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor,. sebagai ketua I Pengurus Besar GP Ansor.
Pak Ud juga pernah menjalani karier di panggung politik praktis. Perjalanan sebagai politikus itu dimulai ketika menjadi wakil Sekretaris Jenderal di Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Di tahun 1967 itu, Pak Ud menjadi wakil rakyat ketika ada penyegaran keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Kebijakan merombak keanggotaan DPRGR ini menyusul terbitnya instruksi Soeharto, yang mengemban Supersemar untuk membersihkan parlemen dari anggota yang berasal dari PKI dan simpatisan Orde Lama.
Memasuki gerbang DPR, Pak Ud segera terlibat dalam berbagai proses politik yang sangat dinamis di hari-hari menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Karir di DPR terus bertahan hingga tahun 1980-an.
Sebagai salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pak Ud turut berperan ketika NU memutuskan serangkaian kebijakan bersejarah tahun 1984. Sebut saja, kembalinya ke Khittah NU 1926. Ketika ada perselisihan pendapat tentang posisi NU dalam percaturan politik di Indonesia, Pak Ud yang mengusulkan agar pengertian khittah perlu ditafsir ulang. Terutama pasca kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.
Dan, tepat pada 30 Desember 2006, Pak Ud terjatuh di kamar rumahnya di Desa Cukir. Setelah itu, ia mengeluh sakit pinggang. Karena kondisinya semakin memburuk, keesokan harinya dibawa ke RSUD Jombang dan menjalani perawatan selama tiga hari. Lalu, pada tanggal 2 Januari 2007, Pak Ud dirujuk ke RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Setelah dirawat selama 12 hari di RSUD Dr Soetomo, pada Ahad, 14 Januari 2007, Pak Ud berpulang ke Rahmatullah. Jenazah Pak Ud kemudian dibawa dan dikebumikan di komplek pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Pemakaman almarhum dilakukan dengan menggunakan prosesi militer. Rentetan tembakan salvo mengiringi pemakaman jenazah Pak Ud ke liang lahat. Cucuran air mata dari ribuan penziarah mengiringi.
Sebenarnya, Pak Ud sangat layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Namun, pihak keluarga besar Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy`ari meminta Pak Ud dimakamkam di makam keluarga besar Tebuireng. Untuk mengenang jasa-jasa perjuangannya, markas besar Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jakarta menetapkan Pak Ud sebagai pahlawan nasional.
Penganugerahan tersebut dilakukan pada pertengahan Maret 2007. Prosesi itu diwujudkan dengan upacara pemberian tonggak bambu runcing di atas pusara Pak Ud. Pemancangan miniatur bambu runcing dengan bendera kecil merah-putih di ujungnya, merupakan simbol bahwa Pak Ud adalah pahlawan nasional yang dimakamkan di luar TMP.
Pak Ud menyandang banyak bintang penghargaan, antara lain, Bintang Gerilya, Satya Lencana Kesetiaan, Satya Lencana Madya, dan sejumlah bintang penghargaan lain. Karenya sangat tepaty kalau dikatakan bahwa Pak Ud adalah jenderal sejati. Salah seorang di antara putra Pak Ud adalah KH M, Irfan Yusuf (Gus Irfan), yang saat ini mendapat amanat sebagai Kepala Badan Penyelenggara Haji di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto. (*)






