KabarBaik.co- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menilai cita-cita luhur Pancasila sejauh ini belum sepenuhnya terwujud. Sebut saja dua sila terakhir, yakni permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial, masih menghadapi tantangan besar dalam praktik kehidupan berbangsa.
“Kalau Demokrasi Pancasila sudah dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, maka keadilan sosial akan terwujud dan kemiskinan sudah tidak ada lagi,” tegas Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP, Prof Dr H Agus Moh Najib MAg, saat membuka Webinar Nasional Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan ISNU Jawa Timur, Jumat (22/8) malam. Dia hadir mewakili Kepala BPIP, KH Yudian Wahyudi MA PhD.
Webinar daring bertema “Negara Pancasila dalam Perspektif Fiqih Tata Negara” ini diikuti 256 anggota ISNU se-Jatim. Kegiatan yang juga bagian dari peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI itu dibuka dengan sambutan Prof Dr HM Afif Hasbullah MHum (Plt Ketua PW ISNU Jatim) dan Prof HM Mas’ud Said PhD (Wakil Ketua Umum PP ISNU).
Tiga tokoh akademisi hadir sebagai narasumber, yakni Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir MAg (Wakil Rais Aam PBNU/Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), Prof Dr M Noor Harisuddin MFil.I (Guru Besar Ilmu Ushul Fiqh UIN KHAS Jember), serta Prof Dr Moh Fadli MHum (Guru Besar FH Universitas Brawijaya Malang). Webinar dipandu Prof Dr Hufron MH (Koordinator Bidang Hukum-Politik Kebangsaan PW ISNU Jatim).
Agus Najib dalam paparannya menilai tiga sila pertama, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan—sudah cukup tercermin dalam kehidupan bangsa. Sila pertama, kata dia, lebih terkait aspek tauhid dan moralitas, bukan fiqih atau syariah formal. Karena itu, bangsa Indonesia relatif fleksibel dalam keberagamaan.
“Syariah Islam dalam Piagam Jakarta sudah dihapus, sehingga fleksibilitas dalam agama tercermin dalam kehidupan kita. Radikalisme bertentangan dengan sila kedua (HAM), sementara liberalisme juga bertentangan dengan sila pertama (religiusitas). Dari sini lahir ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariah, dan ukhuwah wathoniyah. Jadi tinggal sila keempat dan kelima yang harus terus diperjuangkan,” jelasnya.
Sejalan dengan itu, KH Afifuddin Muhajir menegaskan kehadiran negara dalam Islam adalah keniscayaan. Ia mengutip hadits Rasulullah yang menyebut penguasa sebagai wali bagi mereka yang tak memiliki wali. Menurutnya, negara bukan tujuan, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan, menjaga kemaslahatan, dan melindungi maqāsid al-sharī‘ah.
“Ukuran baik-buruknya negara bukan pada bentuknya, apakah negara Islam atau bukan, tetapi sejauh mana ia adil, melindungi rakyat, serta menegakkan maqāsid al-sharī‘ah. Indonesia memiliki kedudukan yang sama dengan Negara Madinah yang dibangun Rasulullah, karena sama-sama majemuk. Pancasila itu sendiri sejatinya syariat dalam konteks kebangsaan,” tegas pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo itu.
Pendapat serupa disampaikan Prof Noor Harisuddin. Menurutnya, NKRI dapat disebut sebagai Darul Islam karena umat Islam bisa menjalankan agamanya secara penuh. “Lima sila Pancasila sangat Islami. NKRI itu sudah syariah,” ujarnya.
Sementara itu, Prof Moh Fadli mengingatkan bahwa hambatan terbesar Pancasila justru terletak pada implementasi kebijakan. “Secara konsep dan norma, Pancasila sudah benar. Namun praktiknya masih banyak intervensi, bahkan dipengaruhi lebih dari 42.000 regulasi, termasuk 388 peraturan warisan kolonial. Akibatnya, tujuan Pancasila untuk melindungi segenap bangsa dan mewujudkan keadilan sosial belum tercapai,” ungkapnya. (*)