KabarBaik.co – Suasana halaman Balai Desa Bedanten, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, sejak Sabtu (9/8) sore, berubah menjadi pasar rakyat bernuansa tempo dulu. Belasan stan berjejer, menyajikan jajanan tradisional seperti gethuk, klanting, ketan bumbon, hingga polo pendem.
Inilah “Peken Madanten: Festival Bedanten Tempo Doeloe”, gelaran perdana yang diinisiasi Tim Penggerak PKK bersama Pemerintah Desa (Pemdes) dan Komunitas Pemerhati Sejarah dan Budaya Bedanten.
Festival ini lahir dari keprihatinan terhadap mulai pudarnya pengetahuan generasi muda tentang kuliner lawas era 1970-an. Seluruh 13 RT di desa ikut membuka stan, ditambah satu stan milik Pengurus Pelestari Makam Penggede (PPMP) Bedanten yang memamerkan koleksi pusaka dari Museum Madanten.
“Insyaallah, Pemdes Bedanten akan mengagendakannya setiap tahun, bertepatan dengan momen 17 Agustus, haul, sedekah bumi, atau Hari Jadi Desa,” ujar Abhiseka, pegiat sejarah dan budaya sekaligus pengurus PPMP, Minggu (10/8).
Kepala Desa Bedanten Abdul Majid, menyebut festival ini sebagai upaya menghidupkan kembali tradisi kuliner yang dulu dijajakan para ibu di pasar desa.
“Banyak nama jajanan yang asing bagi generasi milenial. Ini menginspirasi ibu-ibu PKK untuk membuat Peken Madanten dengan dukungan semua RT dan tampilan pakaian emak-emak tempo dulu,” kata Majid.
Dukungan tidak hanya datang dari warga desa. Publikasi melalui media sosial membuat festival ini diserbu pengunjung dari luar Bedanten. Selain berbelanja dan mencicipi kuliner, mereka juga mendapat suguhan pengetahuan sejarah.
Bedanten, menurut catatan Prasasti Cangguh tahun 1358 M, termasuk salah satu desa tua di wilayah ini. Museum Madanten Nusantara 1358 M yang dihadirkan dalam festival menjadi pintu masuk mengenal sejarah tersebut.
PPMP turut menjelaskan asal-usul nama Bedanten, yang diyakini berasal dari “Madanten” dan berubah dialek menjadi “Bedanten” atau “Bedah Sedanten” saat proses pembendungan Sungai Solo. Aliran sungai dialihkan menuju Sungonlegowo dan Ujungpangkah, yang kini menjadi muara Sungai Solo.
“Melupakan sejarah berarti mengabaikan jati diri kita sebagai pelaku sejarah,” pungkas Majid, menegaskan bahwa festival ini menjadi dakwah budaya dan sejarah untuk generasi mendatang.(*)