Pencerah, Jurnalisme Investigasi (2)

oleh -965 Dilihat
CAK SOL DUKA
Sejumlah pelayat bertakziyah ke rumah almarhum Sholichin di kawasan Perum Taman Puspa Anggaswangi, Sidoarjo, Senin (3/5).

ANDAI saja saya tolak perintah Azrul Ananda (Aza), kejadian di ruang 3×3 Mapolres Lamongan itu tidak bakal terjadi. Tapi, semua menjadi garis waktu. Takdir. Dan, jika takdir datang untuk membantumu, cinta akan datang menemuimu. Seperti kata Rumi, hidup tanpa cinta bukanlah hidup. Kata Rhoma, hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga.

MALAM di bulan Oktober 2002, telepon saya berdering. Bersamaan bulan Ramadan. Di layar handphone, terbaca nama: Mas Imam Syafi’i. Kala itu, dia redaktur Jawa Pos. Belakangan, sejak 2019 telah berpindah pengabdian. Menjadi anggota DPRD Kota Surabaya.

Saya sedang nyangkruk di sebuah warkop. Belum lama pindah tempat tugas. Dari Surabaya ke Gresik. Sebelum itu, diawali ’’drama’’. Mau resign. Sebab, hari-hari terasa ’’kena mental’’. Kerja itu butuh kenyamanan. Bukan sekadar pendapatan. Tapi, keputusan mundur itu tidak jadi. Urung. Saya dapat tawaran lain.

‘’Kalau kamu tidak nyaman di sini (Surabaya, Red), kamu boleh pilih pindah tempat tugas. Mau ke mana?’’ ujar Mas Imam di ruang redaksi.

Tawaran itu mengusik. Tapi, tidak serta merta saya memberikan jawaban. Saya minta waktu. Satu hari saja. Untuk pulang kampung. Meminta nasihat ibu. Ibu adalah segalanya. Saya teringat, ridha Tuhan adalah Ridha orang tua.

Nah, apakah saya akan diridhai untuk mundur itu atau tidak. Ibu bilang jangan. Saya pun mengiyakan. Mesti kembali. Lalu, keputusan saya sudah bulat. Memohon pindah ke Gresik saja. Pertimbangannya, tidak jauh ke Surabaya. Dekat juga kalau mau mudik ke Lamongan. Akhirnya, merdeka! Berpindah ke Gresik. Tidak ’’kena mental’’ lagi.

Eh, rasa gembira itu cuma sesaat. Tidak lama. Buntut suara telepon malam itu. ‘’Ini ada yang mau bicara dengan kamu,’’ kata Mas Imam.

Bak disambar petir di siang bolong. Betapa tidak, suara di ujung telepon itu adalah Aza. ‘’Besok, kamu ke Lamongan. Liputan seputar bom Bali, yang pelakunya orang Lamongan itu. Kamu kan orang Lamongan,’’ ujarnya.

Anda sudah tahu bom Bali. Bukan sembarang kejadian. Kasus superbesar. Mengguncang dunia internasional. Meledak 12 Oktober 2002, malam. Ratusan jiwa melayang. Juga korban terluka. Baik warga Indonesia maupun warga negara asing (WNA).

Jika Anda ke Bali, datang ke Ground Zero. Lokasinya, di sudut Jalan Legian, Kuta. Ada sebuah monumen di situ. Dibangun sebagai penghormatan bagi korban Bom Bali. Di bagian bawah monumen, termuat nama-nama korban meninggal beserta asal negaranya. Saya sudah sekali datang ke sana.

Terdapat empat orang yang ditetapkan sebagai pelaku. Yakni, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron. Ketiganya dijatuhi hukuman mati. Keempat, Ali Imron itu. Dia dijatuhi hukuman seumur hidup. Belakangan, Ali Imron kerap muncul di televisi. Menyatakan penyesalan atas tindakannya itu. Meminta maaf.

Suara di ujung telepon itu singkat. Sesingkat guru meminta muridnya untuk mengerjakan PR.  Saya banyak diam. Namun, dalam hati membayangkan, kalau penugasan ini gagal, maka tidak ada toleransi. Mundur. ’’Besok pagi bersama Fahmi (fotografer) langsung ke lokasi,’’ kata Mas Imam meneruskan pembicaraan di ujung telepon itu.

Lokasi yang dimaksud adalah Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Dari Kota Gresik lumayan jauh. Jaraknya lebih dari 53 kilometer. Berangkat? Tidak? Berangkat? Tidak? Semalaman mata sulit terpejam. Berfikir. Bagaimana kasus sebesar ini, tetapi menugaskan wartawan kemarin sore. Bukan yang lebih senior, dengan jam terbang tinggi, jejaring luas, tulisan press klar. Bukankah ini pertaruhan reputasi? Kepercayaan pada media? Jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi, pasti malu. Saya pun harus mundur.

Pada 2002 itu saya belum genap dua tahun berpindah di Jawa Pos Surabaya. Sebelumnya, di Bojonegoro dan Tuban. Dua tahun. Ibaratnya, masih bau kunir asam.

Di tengah kegamangan perintah itu, saya kembali teringat pesan Ibu. Jangan mundur. Jangan mudah menyerah. Berangkat. Selepas Subuh pun berikhtiar. Menjawab tugas. Bersama Fahmi. Naik motor. Menyusur Jalan Daendels dalam kondisi puasa. Belum ada Google Maps. Tapi, saya tahu ancer-ancernya di mana Solokuro itu. Sebab, almarhum bapak pernah bertugas di KUA setempat. Dulu, saat pulang libur kuliah di Unair, saya sering diminta memboncengkan bapak. Mengantar kerja, menunggui hingga pulang.

Belakangan, saya tahu rupanya salah seorang aktor intelektual di balik penugasan itu adalah Cak Sol, panggilan Solichin M. Awi. Yang Minggu (2/6) malam telah berpulang itu. Menghadap Sang Pemilik Keabadian. Gagal melawan deraan sakitnya. Yang kabarnya baru mendera Februari lalu.

Pertimbangannya simpel. Bukan masalah yunior atau senior. Tapi, karena saya asal Lamongan. Logikanya, mesti tahu wilayah. Paham akan local wisdom (kearifan lokal). Mengenal karakter masyarakat setempat. Kala itu, Cak Sol yang mengampuh halaman nasional Jawa Pos. Kebetulan, dia juga berdarah Glagah, Lamongan. ‘’Soal kualitas tulisanmu, nanti saya bantu dan memandumu,’’ ujar Cak Sol.

Bukan sekadar janji manis seperti banyak kandidat di kontestasi politik itu. Namun, benar-dilakukan. Setulus hati. Berkat permentoran Cak Sol beserta sejumlah senior lain, kelak di kemudian hari saya berhasil ’’menyelundup’’ ke Nusakambangan. Bersama si Kapten. Bertemu dan berbicara langsung dengan tiga pelaku bom Bali di Lapas yang dikenal maximum security itu. Eksklusif. Satu pengalaman bagaimana mengonsep jurnalisme investigasi.

Bila dituliskan, lika-liku menembus Lapas Nusakambangan tersebut sangat panjang.  Mendebarkan. Seberdebar menonton drama Korea. Yang jelas, betul seperti kata Cak Sol. Mengerti local wisdom itu penting.  Modal besar melangkah. Menentukan arah. Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Buah dari ugeman tersebut, kala itu saya dengan keluarga Amrozi di Tenggulun terasa sudah seperti keluarga.

Cak Sol contoh seorang mentor yang baik. Menjadi mentor tidaklah mudah. Butuh idealisme, keteladanan, ketekunan, kesabaran, hingga keikhlasan. Terlebih saat sekarang. Menghadapi Gen Z. Yang banyak disebut sebagai generasi ’’kerupuk’’.

Saya dan banyak teman lain, dulu mendapat penularan ilmu di kala senggang. Sambil ngopi. Di sela-sela berkejaran dengan deadline. Sembari berteman dengan rokok, yang sebetulnya kami sadari betul itu tidak baik bagi kesehatan. Dari almarhumlah, mengalir sanad keilmuan tentang jurnalistik investigasi. Yang Anda sudah tahu, kini tengah menjadi polemik setelah kemunculan RUU Penyiaran itu. Unjukrasa di mana-mana. Terutama dari kalangan pers. Percayalaha, api jurnalisme invetigasi tidak akan pernah mati. Dia terbunuh karena dirinya sendiri.

Cak Sol rajin membaca. Menggali banyak referensi. Logikanya kuat. Terasah. Setajam silet. Di Piala Eropa 2004, misalnya. Bagaimana dia dengan jitu menebak juaranya Yunani. Itu jauh-jauh hari. Bukan saat pertandingan sudah memasuki semifinal atau final. Di kala banyak orang menjagokan tim-tim mainstrem seperti Jerman, Inggris, Italia, Perancis, dan Spanyol, Cak Sol tidak. Yunani. Ternyata, benar.

‘’Kata kuncinya, logika dan hipotesa. Dari situ, lakukan paper trail dan people trail. Jurnalistik investigasi butuh itu. Dan, biasanya mengandung bahaya (dengerous project). Itu bagian risiko profesi,’’ ungkapnya mengutip pernyataan tokoh dari buku yang pernah dibaca.

Cak Sol alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dia alumnus jurusan bahasa Inggris. Belakangan, saya tahu istrinya adik kelasnya. Dari Sepanjang, Sidoarjo. Kini, telah doktor dan menjadi dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (Unusida). Salah seorang anaknya baru saja lulus dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Saat bertakziyah ke rumah duka di Perumahan Taman Puspa Anggaswangi, Sidoarjo, siang itu mendung menggelayut tebal. Seolah tinggal menunggu aba-aba dari Sang Pencipta untuk segera turun. Tidak lama, hujan begitu lebat. Menyiram wajah bumi yang kian membopeng. Sudah beberapa pekan, cuaca terasa terik. Menyengat. Begitu mereda, para pelayat datang bergantian. Melantukan doa, yang kita mesti menyusulnya.

***

Jarum jam sudah menunjuk pukul 21.00 WIB. Sudah hampir satu jam. Tidak juga selesai ’’interogasi’’ menegangkan itu (baca di tulisan bagian pertama, Red). Saya tetap tak beringsut. Dari tempat duduk di kursi kayu nan sederhana. Membisu. Kalaupun bicara, lebih banyak berujar satu kata: Maaf. Seperti pesan Kasatreskrim. Salah ucap, khawatir malah bahaya.

Tangan lelaki itu mengambil sepucuk pistol. Yang semula dilemparkannya ke meja depan saya. Sebetulnya, saya kebelet pipis. Tapi, mau pamit ke toilet, rasanya tidak mungkin dalam suasana demikian. Ketegangan. Saya bersabar. Menahannya. Sekuat tenaga. Kekalutan kian menambah kebelet itu. Bersalawat di dalam hati, nyaris tiada henti. Beruntung, tidak sampai ngompol.

Sejatinya, saya sudah siap. Apapun yang terjadi, terjadilah. Jika pun ada sesuatu dengan saya, bukankah si Kapten sudah tahu. Saya pergi kemana, bersama siapa. Kesusahan selalu berseiring dengan kegembiraan. Percayalah. Duka-cita dan suka-cita. Siang-malam. Kabar baik pun datang juga.

‘’Ya, sudah jangan sampai Anda ulangi! Semoga saja tulisan Anda ini tidak membuat target buruan lepas. Kabur ke tempat lain,’’ kata lelaki itu dengan tetap nada tinggi. Dalam hati, saya pun berujar: Allahuma Aamiin.

Saya boleh keluar ruangan. Dia pun bergegas. Entah ke mana. Yang jelas, betapa leganya. Selega habis buang air besar. Selepas menyampaikan maaf dan terima kasih, saya buru-buru menelepon Cak Sol. Yang karena kejadian itu saya meminta untuk mengakhiri tugas di Lamongan. Jeda dari liputan bom Bali. Balik ke Gresik saja. Menjalani rutinitas normal. Lukir dengan wartawan lain. Penggantinya, Suprianto, kini menjadi manager Jawa Pos di Jakarta.

Sebelum saya kembali ke Gresik ’’mengamankan’’ diri, saya menyampaikan ke Kasatreskrim. Bahwa, pesannya sudah aman terkendali. Dia berterima kasih banyak. Perwira ini memang dikenal baik. Memiliki etos kerja tinggi. Ramah. Termasuk dengan saya. Meski belum lama kenal, namun sudah seperti bersaudara lama. Kabar terbaru, kini sudah berbintang satu. Menjabat sebagai Wakapolda di luar Jawa.

Kembali ke Gresik seusai kejadian kelam itu, kelegaaan tersendiri. Namun, kecemasa masih menghantui hari. Bagaimana kalau Ali Imron sampai kabur ke tempat lain setelah tahu berita di Jawa Pos bahwa jejaknya telah terendus berada di Kalimantan Timur? Bisa jadi saya yang menjadi biangnya? Identitas saya sudah diketahui, maka dengan mudah kalau petugas mau menangkap saya? Pikiran itu berkecamuk.

Bersyukur, bayang-bayang itu tidak lama. Hanya berselang dua hari. Dari kemunculan berita ‘’bermasalah’’ itu. Pertengahaan Januari 2002, saya membaca berita besar di Jawa Pos. Ali Imron tertangkap di Pulau Berukang, Samarinda, Kalimantan Timur. Presisi. Saya pun bersujud syukur. Bukan karena apa, tapi kecemasan akan lanjutan ruangan 3×3 itu telah berakhir. Case closed. Ternyata belum. Rentetan investigasi masih begitu panjang. Sepanjang gerbong antre berebut kursi menteri.

Cak Sol, Mas Imam, Aza, serta siapapun, terkadang memahitkan seperti obat. Tapi, yakin jadi satu bukti akan kebenaran pernyataan Rumi itu. Jika takdir datang untuk membantumu, cinta akan datang menemuimu. Hidup tanpa cinta bukanlah hidup. Saya bangga dan berutang hamparan budi kepada mereka-mereka. Para penebar ilmu bermanfaat. Semoga Cak Sol husnul khatimah. Demikian kelak kita. (*/habis)

M. SHOLAHUDDIN, wartawan Jawa Pos 1999-2023

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.