Pendekar Muktamar

oleh -112 Dilihat
BENDERA NU scaled
Bendera Nahdlatul Ulama (NU)

KEMENANGAN KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam drama akbar Muktamar ke-34 Lampung 2021, tak dimungkiri, diukir dengan tinta peran seorang sosok Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Kala itu, Gus Ipul, seorang nakhoda yang baru saja berlabuh di kota kecil Jawa Timur, Pasuruan, seusai badai politik Pilgub Jatim yang sempat menenggelamkannya. Gus Ipul terbilang politikus kenyang asam garam.

Peran sentral Gus Ipul di arena Muktamar itu bahkan diakui sendiri oleh sang pemenang, Gus Yahya. Publik dan para muktamirin masih teringat jelas, bagaimana Gus Yahya, dalam pidato kemenangannya di panggung agung, melayangkan sanjungan “Abu Nawas” yang sekaligus menjadi rekam jejak digital.

“…. Bahkan, ada pendekar-pendekar yang selama ini merajai dunia persilatan dari Muktamar ke Muktamar, seperti Gus Saifullah Yusuf dan Gus Nusron Wahid. Mereka, yang walaupun misal dalam keadaan sakit seperti apa pun, kalau tiba waktunya Muktamar, langsung sembuh.”

Mendengar julukan “Pendekar Muktamar” itu, Gus Ipul, yang duduk di barisan kehormatan, membalas dengan senyum lebar khasnya, seperti sebuah isyarat bahwa ia siap memanggul tugas baru. Sejak itu, karpet merah terhampar untuknya. Posisi strategis Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU.

Gus Ipul pun dengan mantap melepaskan jubah Wali Kota Pasuruan. Meninggalkan singgasana kecil demi istana lebih besar. Mundur. Dalih demi dedikasi penuh di PBNU. Belakangan, bintangnya kian benderang. Melompat tinggi, memantul dari panggung politik lokal ke gelanggang nasional lagi. Menteri, wakil gubernur, wali kota, dan mungkin kini sedang membidik horizon baru. Calon wapres atau gubernur? Ataukah kembali ke akar sebagai lurah? Hanya waktu yang akan menjawab pergerakan bidak catur sang “pendekar muktamar”.

Plot twist. Tak terhindarkan, kini sang “Pendekar Muktamar” itu justru berdiri di tebing berseberangan dengan sosok yang menjulukinya: Gus Yahya, sang Ketua Umum PBNU. Tirai rahasia sudah lama tersingkap. Angin seteru telah lama berhembus. Gejolak internal PBNU kini menjadi santapan publik. Surat-surat organisasi, laksana sebuah orkestra yang kehilangan konduktornya, tak lagi harmonis. Tanda tangan Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekjen tak lagi lengkap. Prof Nadirsyah Hosen, tokoh muda NU, bahkan menggambarkan situasi ini dengan ungkapan tajam: “PBNU sedang mati mesin”.

Bedug “pertempuran” berbunyi nyaring. Sebuah ultimatum keras menuntut Gus Yahya mundur. Hanya ada waktu tiga hari sejak surat diterima. Surat itu diteken oleh Rais Aam, sosok yang dalam AD/ART NU diibaratkan sebagai “panglima tertinggi” dan pemegang kunci Syuriah.

Baca Juga: MLB NU Refleksi Kritis dari Kader dan Kiai untuk Menjaga Marwah Organisasi

Keputusan itu disebut sebagai hasil musyawarah Pengurus Harian Syuriah PBNU di Hotel Aston, Jakarta, 20 November 2025, dihadiri 37 dari 53 pengurus. Jika enggan meletakkan tongkat kepemimpinan, Gus Yahya terancam diberhentikan secara paksa. Bahkan dengan cap tidak hormat. Hitungan mundur tiga hari itu kemungkinan besar berakhir hari ini (24/11), jika surat telah mendarat di meja Gus Yahya pada 21 November.

​Namun, sebelum detik-detik tenggat waktu berakhir, Gus Yahya telah mengibarkan bendera perlawanan. “Sama sekali tidak terbesit untuk mundur,” tegasnya, bak benteng yang tak tergoyahkan, seusai bertemu perwakilan PWNU se-Indonesia di Surabaya, Sabtu (22/11). Ia pun segera mengumpulkan barisan, mengkonsolidasikan kekuatan dengan alim ulama di Jakarta, Minggu (23/11). Hasilnya? Tidak ada kata mundur. Mereka menjadikan Muktamar—forum tertinggi organisasi—sebagai tameng suci dan menegaskan bahwa waktu penghakiman itu tinggal setahun lagi, 2026, di Surabaya. Kota kelahiran NU, 1926 silam.

​Sebelum badai kali ini, setahun lalu, benih-benih badai berupa tuntutan Muktamar Luar Biasa (MLB) NU sempat mekar. Para penggagasnya merasa gelisah dengan pola dan gaya gulat para “pesilat-pesilat” di PBNU. Namun, isu MLB itu kala itu layu sebelum berkembang, bagaikan api yang kehabisan bahan bakar. Ironisnya, kini terjadi “Ontran-ontran” yang pusarannya jauh lebih dahsyat, mengancam untuk membelah kapal besar Nahdlatul Ulama.

​Namun, di tengah riuh badai ini, tidak perlu ada kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Dalam perjalanannya menapaki usia lebih dari satu abad, kapal besar Nahdlatul Ulama telah melalui samudra gonjang-ganjing tak terhitung. Tali-temali konflik internal maupun eksternal sudah kerap diuji, namun jangkar ukhuwah selalu berhasil menahan.

Baca Juga: PWNU Jatim Khuruj Minal Khilaf? Ini Respons Gus Mus Soal ‘Ontran-ontran’ PBNU

Dalam sejarahnya, di kalangan Nahdliyin, masyhur istilah bahwa “gegeran” (pertikaian) pada akhirnya selalu bermetamorfosis menjadi “ger-geran” (senda gurau dan kebersamaan) lagi. Sebab, pada akhirnya, fondasi kultural dab spiritual organisasi ini jauh lebih kokoh dari sekadar pertarungan politik fana kuasa. Meminjam istilah santai dan penuh makna dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus), yang suaranya menyejukkan di tengah kegaduhan. “NU sing duwe Gusti Allah. Jadi Allah yang ngurus”.

Bara api perselisihan mungkin membara sebentar, tetapi obor perjuangan Nahdlatul Ulama akan terus menyala. Sebab, sekuat apa pun tarikan di ujungnya, tali tambang NU terbuat dari benang washatiyah yang takkan putus, hanya meregang untuk kemudian menyatukan. Apalagi sekadar urusan tarik-tarikan tambang? Wallahu A’lam. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.