KabarBaik.co- Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, didorong untuk dapat tampil sebagai role model keterbukaan informasi bagi kota-kota kreatif dunia setelah resmi bergabung dalam jaringan UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Pesan itu mengemuka dalam diskusi yang digelar Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistika (Diskominfotik) Pemkab Ponorogo di Hall Hotel Gajah Mada, Senin (24/11).
Acara dibuka Asisten I Sekda Ponorogo Bambang Nurcahyo yang hadir mewakili Plt Bupati Ponorogo Lisdyarita, dan menghadirkan dua narasumber utama. Yakni, Ketua Bidang Kelembagaan Komisi Informasi (KI) Jawa Timur M. Sholahuddin serta Dekan Fisip Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo) Robby Darwis Nasution. Diskusi dipandu Kepala Diskominfotik Ponorogo, Sapto Djatmiko Tjipto Rahardjo dan diikuti PPID desa hingga OPD Pemkab Ponorogo.
Dalam paparannya, Sholahuddin menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik bukan lagi sekadar kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008. Namun, juga syarat mutlak dalam implementasi UCCN. Menurutnya, UNESCO mengedepankan transparansi, partisipasi masyarakat, kolaborasi lintas sektor, dan kebijakan berbasis data.
Karena itu, lanjut dia, Ponorogo yang kini menyandang status Kota Kreatif Dunia kategori Crafts & Folk Art dituntut memiliki tata kelola informasi yang terbuka agar ekosistem kreatifnya dapat berkembang secara global.
“Begitu Ponorogo masuk UCCN, dokumen seperti rencana aksi kreatif, laporan kegiatan budaya, data pelaku seni, hingga anggaran festival Reog harus bisa diakses publik. Ini bagian dari standar internasional,” ujarnya.
Alumnus Unair Surabaya itu menambahkan, pasal-pasal dalam UU KIP seperti Pasal 3, 4, 7, 9, dan 11 sangat relevan dan harus diterapkan penuh. Dengan keterbukaan informasi yang baik, Ponorogo dapat mengundang kolaborasi luar negeri, memperkuat peran komunitas budaya, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah.

Sementara itu, Robby Darwis Nasution memberikan perspektif akademik dengan memaparkan hasil riset panjangnya tentang Reog Ponorogo. Ia menggarisbawahi bahwa Reog bukan sekadar pertunjukan, melainkan ekosistem yang melibatkan banyak pelaku: seniman, perajin topeng dan ornamen, pembuat kostum, hingga UMKM pendukung. Menurutnya, keterbukaan data sangat penting agar pelaku seni mendapat manfaat langsung dari kebijakan kreatif.
“Kalau datanya terbuka, seluruh pemangku kepentingan bisa melihat peluang pengembangan, baik dalam hal produksi, pemasaran, pendidikan seni, maupun kerja sama internasional. Ini yang membuat pengembangan Reog bisa berkelanjutan,” jelasnya.
Alumnus UGM itu juga mendorong digitalisasi arsip budaya serta penguatan kolaborasi akademik agar narasi Reog dan kriya Ponorogo semakin dikenal luas di dunia. ”Termasuk bagaimana menjadikan Reog ini sebagai muatan lokal agar terus ada regenerasi dan tidak musnah,” ungkap Robby.
Diskusi mengerucut pada pemahaman bahwa status Ponorogo sebagai anggota UCCN membawa peluang besar, namun juga tanggung jawab besar pula dalam tata kelola informasi. Para peserta dari PPID desa dan OPD diingatkan agar terus ada sinergisitas dalam penguatan informasi Ponorogo sebagai kota kreatif dunia. Baik informasi berkala maupun tersedia setiap saat. Mulai dari laporan tahunan, rencana aksi, data ekosistem kreatif, dan transparansi anggaran kegiatan.
Menutup diskusi, moderator Sapto Djatmiko menegaskan bahwa momentum Ponorogo sebagai kota kreatif dunia (UCCN) harus diikuti penguatan tata kelola informasi agar program-program dapat melibatkan masyarakat seluas mungkin. “Jika keterbukaan ini dijalankan dengan baik, Reog tidak hanya menjadi kebanggaan Ponorogo atau Indonesia, tetapi bisa menjadi rujukan dunia,” ujarnya. (*)







