KabarBaik.co – Puisi-puisi Nirwan Dewanto, khususnya yang terangkum dalam buku “Ke Arah Museum Revolusi”, menghadirkan sebuah lanskap sastra yang unik dan menantang.
Pembaca akan segera merasakan bahwa karya-karya Nirwan tidak menawarkan makna secara gamblang, melainkan membungkusnya rapat-rapat dalam selubung majas.
Seperti yang tersirat dalam barisannya sendiri: “Jalan menuju makna mulai tertutup belukar majas” (Golongan Merah, halaman 32-33). Ini adalah pengakuan sekaligus karakteristik utama dari gaya kepenyairan Nirwan.
Puisi Nirwan Dewanto memiliki akar yang kuat pada langgam sastra Jawa lama, seperti kakawin, babat, dan serat. Namun, ia tidak berhenti di situ. Nirwan piawai dalam mengoplos dan memasukkan khazanah literatur lain dari Asia hingga Eropa, menciptakan sebuah adonan budaya yang kaya dan kompleks. Perpaduan ini menghasilkan sebuah corak yang khas, di mana tradisi lokal bertemu dengan modernitas dan referensi global.
Gaya ucap yang diusung Nirwan adalah sanepan dan referensial. Sanepan, dalam konteks Jawa, merujuk pada gaya bahasa kiasan atau perumpamaan yang mendalam, seringkali memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk memahami maksud sebenarnya. Ditambah dengan sifatnya yang referensial, puisi-puisi Nirwan kerap merujuk pada peristiwa, tokoh, atau karya-karya lain, baik dari sejarah maupun literatur, yang menuntut pembaca untuk memiliki cakrawala pengetahuan yang luas agar dapat menangkap nuansa dan konteks yang disajikannya.
Secara tematis, politik dominan dalam karya-karya Nirwan, seringkali direfleksikan melalui lensa sejarah. Ia juga tidak ragu menyentuh erotisme, dan secara konsisten menjelajahi tema sastra dan budaya. Menariknya, semua tema ini selalu bergerak dalam rel sejarah, memberikan konteks yang kuat dan mendalam pada setiap eksplorasi ide. Nirwan menggunakan sejarah bukan sekadar sebagai latar, melainkan sebagai medan tempat makna-makna berinteraksi dan berevolusi.
Pada akhirnya, puisi Nirwan Dewanto adalah sebuah undangan untuk sebuah perjalanan intelektual. Makna yang tersembunyi di balik belukar majas, perpaduan langgam lama dan baru, serta referensi yang padat, menuntut pembaca untuk aktif berpartisipasi dalam proses penemuan. Bukan hanya membaca, melainkan menafsirkan, merenungkan, dan menghubungkan titik-titik yang terserak dalam setiap baitnya.