Rahmat dalam Perbedaan Awal Puasa, Muhammadiyah 11 Maret, NU-Pemerintah 12 Maret

Editor: Hardy
oleh -119 Dilihat
Ilustrasi pelaksanaan rukayutl hilal tim PBNU untuk memantau awal bulan Kamariah.

KabarBaik.co- Awal Ramadan berbeda. Muhamadiyah sudah jauh-jauh menetapkan bahwa 1 Ramadan 1445 H pada Senin (11/3), Adapun pemerintah melalui sidang isbat memutusian jatuh pada Selasa (12/3). Keputusan tersebut disampaikan Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas.

’’Sidang isbat secara mufakat menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada hari Selasa, 12 Maret,” kata Gus Yaqut, panggilan Menag, dalam konferensi pers penetapan awal Ramadan 1445 H yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Kemenag, Minggu (10/3).

Berdasarkan pemantauan bulan (rukyatul hilal) yang dilakikan di 134 lokasi di Indonesia, ketinggian hilal belum memenuhi syarat untuk menjadi bulan baru. Sebab, baru mencapai minus 0 derajat 20,2 menit sampai 0 derajat 52,09 menit.

Selama ini, Pemerintah RI memakai metode rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan. Metode ini mempertimbangkan hasil hisab (perhitungan) posisi hilal, kemudian dikonfirmasi dengan pengamatan hilal secara langsung di sejumlah lokasi.

Pemerintah juga mengacu kesepakatan bersama MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Bahwa, penentuan bulan baru ketinggiannya minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Nah, dari kriteria tersebut, hilal yang dipantau di sebanyak 134 titik tidak memenuhi syarat. Karena itu, 29 Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.

Baca juga:  Muhammadiyah Banyuwangi Dukung Perdamaian di Desa Pakel

Sidang isbat tersebut juga dihadiri sejumlah duta besar (Dubes) negara sahabat, perwakilan Ormas Islam, akademisi, pakar astronomi, perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Komisi VIII DPR RI.

Sebelumnya, Minggu (10/3) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Falakiyah (LF) juga mengabarkan awal Ramadan 1445 H jatuh pada Selasa (12/3). Kabar itu berdasarkan hasil rukyatul hilal pada Ahad (10/3) petang di sejumlah tempat. Para perukyat yang disebar ke banyak lokasi melaporkan, tidak dapat melihat hilal.

Terpisah, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf , tim rukyatul hilal LF PBNU telah melakukan rukyatul hilal bil fikli di sekitar 60 lokasi. Para perukyat belum berhasil melihat hilal sehingga umur bulan Sya’ban 1445 H adalah 30 hari atau disempurnakan (istikmal).

Baca juga:  Muhammadiyah Tetapkan Hari Raya Idul Fitri Jatuh Pada Rabu 10 April 2024

’’Tidak satupun yang dapat melihat hilal. Karena itu, mengikuti pendapat dari mazhab Arba’ah (empat mazhab), Senin, 11 Maret 2024, belum masuk Ramadan,” katanya Gus Yahya, panggilan akrabnya, didampingi jajaran PBNU dan LF PBNU mengutip NU Online Ahad (10/3).

Sementara itu, Muhammadiyah sudah sejak jauh-jauh hari menetapkan 1 Ramadan 1445 H pada Senin (11/3). Lalu, Hari Raya Idulfitri 1 Syawal jatuh pada 10 April. Keputusan itu disampaikan Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Muhammad Sayuti, pada 20 Januari 2024, dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, Jogjakarta.

Di lansir dari laman Muhammadiya, Sayuti menjelaskan, keputusan tersebut dilakukan dengan menggunakan metode hisab wujudul hilal hakiki. Keputusan itu telah tertuang dalam Maklumat Nomor 1/MLM/I.0/E/2024, yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Sekjen, tertanggal 12 Januari 2024.

Pada bagian lain, menurut KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), baik hisab maupun rukyat masing-masing memiliki dasar hukum. Karena itu, tidak perlu gegeran atau diperdebatkan tentang perbedaan awal Ramadan. ’’Kita terkadang manut pada hukum, tapi tidak pada ilmu. Juga sebaliknya, mengikuti ilmu tapi tidak patuh pada hukum,’’ kata ulama kharimastik itu dikutip dari kanal YouTube Gus Baha, Kamis (7/3).

Baca juga:  Kapolres Bareng Ketua Bhayangkari Bojonegoro Bagi-bagi Takjil ke Warga

Dia mencontohkan, khilafiyah (perbedaan) Qunut dalam salat Subuh. Seperti diketahui, penganut Qunut itu Imam Syafii, sementara yang tidak memakai Qunut adalah Imam Hanafi. Nah, suatu ketika, Imam Syafii datang ke tempat Imam Hanafi. Ternyata, Imam Syafii tidak Qunut. Imam Hanafi pun mempertanyakannya. Jawaban Imam Syafii karena menghormati Imam Hanafi.

‘’Jadi, tidak perlu gegeran. Kita ini kadang bodoh. Misalnya, menyebut bahwa yang Qunut itu NU, tidak Qunut itu Muhammadiyah. Sejak kapan NU dan Muhammadiyah jadi mujtahid?’’ tanyanya.  Bukankah perbedaan itu sunnatullah dan perbedaan itu merupakan rahmat?

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.