KabarBaik.co – Di usia ketika banyak orang mulai melambat, Sasetya Wilutama justru menyalakan kembali semangat lamanya: menulis. Setelah puluhan tahun berkelana di dunia jurnalistik, lelaki yang akrab disapa Setya ini akhirnya merangkum seluruh perjalanannya dalam sebuah buku berjudul Wong Katrok Merambah Media.
Buku itu bukan sekadar kumpulan esai tentang dunia media yang terus berubah, melainkan juga kisah hidup seorang jurnalis yang tak pernah berhenti belajar. Bahkan di tengah perubahan zaman dan usia yang tak lagi muda.
Menariknya, peluncuran buku yang digelar Jumat (3/10) lalu di Kampus Stikosa-AWS Surabaya bukan sekadar seremoni literasi, tapi juga menjadi bagian dari ujian skripsi Setya. Di hadapan para sahabat, akademisi, dan rekan sejawat, ia tak hanya mempersembahkan karyanya, tetapi juga menutup perjalanan panjang akademiknya dengan cara yang sangat personal.
Dalam acara yang hangat dan penuh tawa itu, Wakil Ketua Stikosa-AWS, Yunita Indinabila, memberikan apresiasi khusus.
“Usia bukan penghalang untuk terus belajar. Pak Sasetya memberi contoh nyata bahwa semangat menuntut ilmu tak pernah mengenal kata terlambat,” ujarnya.
Sasetya sendiri mengakui, buku ini adalah buah dari perjalanan panjang dan dorongan sahabat-sahabatnya yang tak henti menyemangati. Ada Imung Mulyanto, editor yang terus mendesak agar tulisannya tak hanya bertebaran di media sosial dan portal berita. Ada juga Adriono, yang mengingatkannya bahwa “buku adalah mahkota penulis.”
Dan tentu, Amang Mawardi, seniornya yang sudah menulis 17 buku, yang membuatnya yakin bahwa setiap tulisan layak diabadikan. Buku Wong Katrok Merambah Media mengurai tiga babak besar perjalanan Setya: era media cetak, era televisi, dan era digital.
Ia memulai kariernya sebagai redaktur majalah Panjebar Semangat, majalah legendaris berbahasa Jawa yang mengajarkannya kedisiplinan dalam memilih kata. Dari sana, langkahnya menapak ke SCTV dan berbagai televisi lokal, sebelum akhirnya ikut mendirikan Matrix TV Digital.
Pada era digital, ia tak berhenti menulis. Justru di situlah ia menemukan kebebasan baru untuk menyalurkan gagasan. Lewat platform seperti Kompasiana, Kumparan, Kempalan, dan berbagai portal lainnya, Setya menjadi saksi sekaligus pelaku pergeseran dunia media: dari kertas, layar kaca, hingga layar ponsel.
“Awalnya judul buku ini ‘Wong Katrok Masuk Tipi’, tapi kemudian saya ubah. Karena ternyata perjalanan saya tak berhenti di televisi — saya benar-benar merambah berbagai medium,” ujarnya sambil tersenyum, saat ditemui di Surabaya, Minggu (5/10).
Tak hanya berhenti di buku cetak, Sasetya juga menambahkan sentuhan khas yang menunjukkan semangat kekiniannya. Ia mencetak kaos dan bookmark bergambar sampul buku, dilengkapi QR Art karya seniman digital Doddy Hernanto. Dengan teknologi itu, pembaca bisa langsung membuka versi e-book hanya dengan sekali pindai.
Gagasan itu menggambarkan sosok Sasetya yang terbuka pada hal baru. Ia bukan jurnalis yang terjebak romantisme masa lalu, tetapi pembelajar yang tahu bagaimana merangkai tradisi lama dan inovasi digital dalam satu nafas yang sama.
Lebih dari sekadar catatan perjalanan karier, Wong Katrok Merambah Media adalah refleksi hidup tentang persahabatan, kerja keras, dan dedikasi. Sebuah pengingat bahwa menulis bukan hanya tentang mengabadikan pengalaman, tapi juga tentang mewariskan nilai.
“Buku ini adalah obsesi lama yang tertunda. Banyak kendala yang membuat saya menunda, tapi sahabat-sahabatlah yang membuat saya berani menyelesaikannya,” tuturnya pelan.
Dalam setiap lembarnya, tersimpan semangat seorang “wong katrok” — istilah yang ia pilih dengan rendah hati — yang berani menembus batas-batas media dan zaman.
Kini, setelah buku itu terbit, Sasetya Wilutama seperti menemukan rumahnya kembali. Ia menutup satu bab perjalanan sebagai mahasiswa, namun membuka bab lain sebagai penulis.
Bagi Setya, menulis adalah bentuk pulang — pulang pada diri sendiri, pada nilai-nilai yang membentuknya sebagai jurnalis, dan pada keyakinan bahwa kata-kata yang ditulis dengan hati tak akan lekang oleh waktu. “Buku ini adalah mahkota kecil saya,” ujarnya tersenyum. “Bukan untuk dikenakan, tapi untuk dibagikan.” (*)