KabarBaik.co – Tumpeng yang kini identik dengan rasa syukur dan kebersamaan ternyata memiliki sejarah panjang yang berakar dari masa pra Islam di Nusantara. Sebelum menjadi tradisi yang akrab dengan doa dan selamatan, tumpeng justru berawal dari ritual pemujaan dalam aliran Tantra Hindu.
Budayawan dan dalang Asal Surabaya Ki Sabdo Winarno mengungkapkan bahwa pada awal kemunculannya, tumpeng merupakan bagian dari upacara keagamaan Bairawa Tantra, aliran yang memuja Dewi Kali atau Dewi Durga.
“Tumpeng pada awalnya adalah sarana upacara agama Hindu aliran Tantra yang memuja Dewi Kali atau Dewi Durga,” tutur Ki Sabdo Winarno kepada KabarBaik.co, Sabtu (22/11).
Menurut Ki Sabdo, pada masa itu tumpeng dibuat dalam ukuran sangat besar dengan berbagai macam olahan masakan sebagai persembahan. Bahkan, konon dalam ritual tertentu digunakan daging manusia yang dibuat ingkung sebagai sesaji.
“Upacara yang digelar di sekeliling tumpeng dulu memang terkesan sangat mengerikan dan ekstrem. Di antaranya ada ritual minum arak dan hubungan bebas. Semua itu dilakukan untuk mencapai kesadaran spiritual tertinggi atau disebut ngrogoh sukmo,” jelasnya.
Ajaran Bhairawa Tantra memang dikenal keras dan bersifat mistis. Namun, ketika ajaran Islam mulai masuk ke Nusantara, pengaruh aliran tersebut perlahan mulai memudar. Para Walisongo tidak serta-merta menghapus tradisi tumpeng, melainkan mengubah makna dan filosofi di baliknya agar sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Walisongo tidak menolak tumpeng, tapi mengubah maknanya. Bentuknya tetap kerucut, namun maknanya digeser menjadi simbol hubungan manusia dengan Tuhan,” tambah Ki Sabdo.
Dalam versi Islam, tumpeng diartikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Bentuk kerucutnya melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta, sementara aneka lauk-pauk di sekelilingnya menggambarkan keseimbangan hidup, kemakmuran, dan ketundukan.
Kini, tumpeng telah bertransformasi menjadi simbol budaya yang sarat makna. Ia hadir dalam berbagai momen kebersamaan dari selamatan, ulang tahun, hingga peringatan hari besar nasional sebagai lambang persatuan, doa, dan rasa syukur masyarakat Indonesia. (*)







